Pemuda Jawa Lantunkan Gamelan di Suriname: Ikhtiar Mencintai Budaya Leluhur

8 hours ago 2

Liputan6.com, Paramaribo - Mungkin sulit membayangkan bahwa nun jauh di Benua Amerika, ada sebuah negara di mana budaya Jawa begitu populer. Ya, negara yang dimaksud adalah Suriname, yang memang pada Abad ke-19 kedatangan imigran Jawa untuk bekerja di perkebunan.

Liputan6.com berhasil menghubungi salah satu keturunan Jawa yang ada di Suriname. Giovanni Asmo, namanya. Meski lahir dan tumbuh besar di Suriname, dia tidak pernah tidak jatuh cinta dengan asal usul leluhurnya.

"Saya belajar bahasa Jawa di rumah. Orang tua saya serta kakek dan nenek saya berbicara dengan saya menggunakan bahasa Jawa. Saya juga mengikuti kursus bahasa Jawa di KBRI Paramaribo karena saya ingin menjadi lebih fasih," tutur pria usia 36 tahun itu kepada Liputan6.com pada Jumat (20/12/2024).

Sementara untuk bahasa Indonesia, Giovanni mengatakan, "Saya belajar bahasa Indonesia dari seorang wanita yang mengajarkan bahasa Indonesia lewat televisi. Jadi, setiap sore, saya menontonnya dan ikut mencatat. Saya dulu juga menonton banyak film Indonesia, jadi saya belajar bahasanya dari situ."

Menurut Giovanni, budaya/bahasa Jawa dan Indonesia tidak jarang ditunjukkan dan disertakan dalam publikasi media Suriname, termasuk via televisi dan radio. Dia ingat bahwa ada program berita yang disampaikan dengan bahasa Jawa. Bahkan, sampai sekarang, bahasa Jawa juga masih digunakan dalam siaran radio. 

Kecintaannya pada budaya moyangnya diterjemahkan Giovanni dengan mengenalinya dan mempelajarinya lebih jauh, termasuk gamelan dan tari-tarian. Soal gamelan, dia mengaku minatnya pada alat musik itu tumbuh sejak usianya enam tahun.

"Di sini, ada sebuah stasiun radio yang dimiliki oleh orang-orang Jawa dan setiap hari pada pukul lima, mereka memainkan musik gamelan. Mereka masih melakukan ini," cerita Giovanni yang tinggal di Paramaribo, ibu kota Suriname.

"Saat itu, saya mendengar musiknya dan saya jatuh cinta dengan musik gamelan. Lalu, ibu saya bercerita bahwa dia dulu adalah penari dan kakek saya pernah menjadi bagian dari grup budaya Jawa. Jadi, sepertinya semangat saya sudah ada dari sananya, tapi pada saat itu lah jiwa kebudayaan di dalam diri saya terbangun dan tak pernah tidur lagi." 

Ketertarikannya itu membawanya belajar ke sanggar budaya setempat hingga akhirnya berkesempatan masuk ke lingkungan KBRI Paramaribo. Interaksinya dengan orang-orang di kedutaan semakin membakar semangatnya untuk tidak hanya mendalami budaya Jawa, namun juga budaya daerah lainnya di Indonesia.

"Saya sudah mempelajari tarian-tarian dari Bali dan dari Sumatera, seperti tari indang dan serampang 12. Tidak hanya tarian-tarian saja, saya juga belajar tentang pakaian tradisional dari setiap pulau," jelas diaspora Indonesia ini. 

Pada 2007, dia memutuskan belajar seni karawitan di Universitas Negeri Yogyakarta selama setahun. 

"Saya mempelajari seni karawitan, termasuk gamelan dan tari. Tapi, saya juga mengambil kelas-kelas lain, seperti kelas batik, biola, dan manten yang mengajari make up tradisional pengantin Jawa," ungkap Giovanni, yang tinggal di Indonesia selama satu tahun.

Sama-sama Jawa tapi…

Dari perbandingan antara pengalaman hidupnya selama setahun di Yogyakarta dan kesehariannya sebagai seorang Jawa di Suriname, Giovanni mendapati perbedaan praktik budaya Jawa di kedua negara. 

"Perbedaan sangat besar. Pertama, bahasanya. Di sini, kita biasanya menggabungkan kata-kata Bahasa Belanda atau Suriname saat berbahasa Jawa. Jadi, saat saya ke Indonesia, saya meminta guru-guru saya untuk berbicara dengan saya menggunakan bahasa Jawa makanya saya sekarang lebih fasih," beber Giovanni. 

"Di Indonesia, orang-orang Jawa sangat halus, berbicara pelan, dan sopan. Kita juga sopan, namun mereka lebih halus. Di Indonesia juga terasa ada hierarki dengan orang yang lebih tua. Di Suriname, kita melihat semua orang sebagai sejawat." 

Giovanni menyatakan dia baru tahu bahwa bahasa Jawa memiliki tingkatan formal dan informal yang berbeda saat belajar di kursus. 

"Di Suriname, kami menggunakan bahasa Jawa ngoko yang informal. Kedengarannya lebih kasar, namun begitulah kalau di sini," kata dia. 

"Cara kami menggunakan ngoko, intonasi kami, pengucapan kami, kami biasanya berbicara dengan lantang di Suriname. Jadi, kami terdengar lebih kasar. Kebanyakan orang Jawa di sana (Pulau Jawa) sangat halus, sangat pelan, namun saya malah berisik."

Menariknya, Giovanni mengungkapkan bahwa panggilan "mas" dan "mbak" yang sangat identik dengan budaya Jawa ternyata tidak sering digunakan di kalangan Jawa-Suriname. Bila berbicara dengan orang yang berdekatan umurnya, mereka akan memanggil dengan nama yang bersangkutan, sementara dengan orang yang lebih tua, mereka menggunakan panggilan "om" dan "tante". 

Perbedaan berikutnya yang dicatat Giovanni adalah soal masakan Jawa, yang dia sering makan dan masak di Suriname dengan yang pernah dia santap di Indonesia. 

"Orang Suriname sangat suka dengan masakan Jawa, seperti nasi goreng, bakmi goreng. Tapi, makanan Jawa di sini itu dipelajari dari buku resep yang sama. Kalau ada 10 warung di sini, semuanya akan punya makanan yang sama dengan rasa yang sama. Tapi, kalau di Indonesia, tiap penjual yang menyajikan makanan yang sama, memiliki variasi dan rasa yang berbeda," tutur Giovanni. 

"Mayoritas orang Jawa-Suriname kurang suka masakan yang dimasak orang Indonesia. Orang Indonesia masak menggunakan banyak santan dan orang-orang Jawa-Suriname kurang suka rasa santan. Kemudian, orang Indonesia menggunakan lebih banyak bumbu, seperti daun jeruk, daun serai, jahe, kunyit, dan lain-lain. Kami tidak menggunakan bumbu seberagam itu, kami hanya pakai bawang merah, bawang putih, lengkuas, itu saja." 

Giovanni mengaku dia lebih memilih menggunakan cara masak Jawa-Suriname yang lebih sederhana dengan bumbu yang lebih sedikit, walau secara pribadi dia lebih menyukai cita rasa yang dimasak di Indonesia.

Komitmen Melestarikan Budaya Jawa

Bagaimanapun, Giovanni menyimpan keprihatinan terhadap eksistensi budaya Jawa di komunitas Jawa-Suriname. Menurutnya, generasi tua tidak membekali anak-anak mereka dengan pengetahuan budaya.

"Di sini, orang-orang tua yang memiliki pengetahuan budayanya, tidak mengajarkannya kepada generasi muda. Itulah mengapa budaya (Jawa) di sini melemah. Ibu saya tidak mengajari saya cara menari atau apa pun mengenai budaya, walaupun dia mengerti budaya kami," cerita Giovanni.

Giovanni merasa bahwa budaya Jawa-Suriname tidak berkembang dan mungkin itulah yang menyebabkan generasi muda menjadi kurang tertarik dengan budaya leluhur mereka.

"Orang-orang Jawa di sini seakan terjebak di masa lalu. Budaya kita tidak pernah berkembang … Misalnya, generasi ibu saya mempelajari budaya dari orang tua mereka dan orang tua mereka belajar dari generasi di atasnya. Jadi, budayanya tidak berkembang dan begitu-begitu saja makanya ada yang menganggapnya membosankan," sebut Giovanni.

"Budaya Jawa itu sangat halus, berbeda dengan budaya-budaya lain di Suriname yang lebih meriah dan menggembirakan. Jadi, mereka lebih memilih budaya-budaya lain karena budaya kami sangat lamban, halus, membosankan."

Sekarang, ungkap Giovanni, generasi muda Jawa-Suriname kurang bisa berbahasa Jawa dan semakin jauh dari budaya mereka karena gaya hidup yang lebih mengikuti budaya Barat, yang mendominasi media sosial. 

Giovanni sendiri ingin ikut serta melestarikan budaya Jawa di komunitasnya. Tidak jauh-jauh, komitmen itu dimulainya dari adiknya sendiri. 

"Untuk mengajari budaya Jawa, saya akan lebih fokus ke praktik, tidak hanya dengan menyampaikan cerita atau teorinya saja. Saya akan peragakan juga. Contohnya, saya berbicara bahasa Jawa dengan adik saya yang menunjukkan ketertarikan dengan budaya kami. Sejauh ini, dia lebih mengerti, namun masih kesulitan dalam bicara. Saya juga mengajak adik-adik saya bila ada festival Jawa," kata anak tertua dari empat bersaudara itu.

Giovanni merupakan generasi Jawa-Suriname keempat di keluarganya. Kakek dan nenek buyutnya berasal dari Jawa Tengah dan dikirim ke Suriname oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan gula.

"Imigran pertama dari Jawa datang ke Suriname pada tahun 1890. Namun, buyut saya datang sekitar tahun 1910. Setelah berhentinya praktik perbudakan, imigran Jawa adalah kelompok imigran terakhir yang datang ke Suriname. Sebelumnya, Suriname kedatangan imigran dari China, kemudian India, lalu Jawa," jelas Giovanni tentang sejarah komunitas Jawa-Suriname. 

"Orang-orang Jawa datang pada masa yang sangat sulit, namun kami sekarang bisa mencapai keberhasilan. Sekarang, beberapa dari kami ada yang menjadi politikus, dokter, guru, wirausahawan, dan sebagainya. Kami telah tumbuh sangat pesat di beberapa tahun terakhir. Dulu, orang-orang melihat kami sebagai minoritas dan memandang rendah kami."

Giovanni sendiri sehari-sehari bekerja sebagai terapis pijat dan seminggu sekali mengajarkan gamelan di KBRI Paramaribo.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |