Liputan6.com, Seoul - Presiden Yoon Suk Yeol dilarang meninggalkan Korea Selatan setelah upaya gagal untuk memberlakukan darurat militer, kata seorang pejabat kementerian kehakiman pada hari Senin (9/12/2024), di tengah semakin banyak seruan agar dia mengundurkan diri.
Yoon Suk Yeol telah meminta maaf atas upayanya memberlakukan darurat militer dan menyatakan bahwa dia menyerahkan nasib politik dan hukumnya kepada partai penguasa, People Power Party (PPP), namun dia belum mengundurkan diri. Menurut laporan media lokal, dia kini menjadi subjek penyelidikan kriminal.
Pada hari Senin, kementerian pertahanan mengatakan Yoon Suk Yeol masih secara sah menjabat sebagai panglima tertinggi, namun semakin banyaknya ketidakpuasan di kalangan petinggi militer terhadap presiden menimbulkan pertanyaan mengenai kekuasaannya.
Oh Dong Woon, Kepala Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi, menuturkan bahwa dia telah melarang Yoon Suk Yeol bepergian ke luar negeri. Hal ini disampaikan saat dia ditanya dalam sidang parlemen mengenai langkah-langkah yang diambil terhadap presiden. Demikian seperti dikutip Reuters.
Pejabat kementerian kehakiman, Bae Sang-up, mengonfirmasi bahwa perintah larangan bepergian tersebut telah dilaksanakan.
Meskipun Yoon Suk Yeol berhasil lolos dari pemungutan suara pemakzulan di parlemen pada hari Sabtu (7/12), keputusan partainya untuk mendelegasikan kewenangan presiden kepada perdana menteri telah menyebabkan Korea Selatan terjerumus dalam krisis konstitusional.
Yoon Suk Yeol menolak seruan, termasuk dari partainya sendiri, untuk mengundurkan diri, namun masa depannya terlihat semakin tidak pasti pada akhir pekan ketika kantor berita Yonhap melaporkan bahwa dia sedang diselidiki secara kriminal atas tuduhan pengkhianatan.
Pada hari Minggu, menurut laporan Yonhap, jaksa menahan mantan Menteri Pertahanan Kim Yong Hyun atas dugaan keterlibatannya dalam deklarasi darurat militer pada 3 Desember.
Yoon Suk Yeol memberikan wewenang darurat yang luas kepada militer pada 3 Desember untuk memberantas apa yang disebutnya "kekuatan anti-negara" dan lawan politik yang menghalangi. Dia mencabut perintah tersebut enam jam kemudian, setelah parlemen menolak dekrit tersebut.
Di tengah reaksi keras, beberapa pejabat militer, termasuk pelaksana tugas menteri pertahanan, mengatakan mereka tidak akan mengikuti perintah baru untuk memberlakukan darurat militer lagi.
Tidak Konstitusional
Partai oposisi utama, Partai Demokrat (DP), telah menyerukan agar Yoon Suk Yeol dicopot dari kewenangannya atas militer. DP juga menuntut penangkapan Yoon Suk Yeol dan pejabat militer mana pun yang terlibat dalam upaya penerapan darurat militer.
Lee Yang-soo, kepala tim khusus yang dibentuk oleh partai Yoon Suk Yeol untuk mengelola pengunduran dirinya, mengatakan bahwa tim tersebut akan mempertimbangkan semua opsi dan waktu yang tepat untuk pengunduran diri presiden.
Pada hari Minggu, Ketua PPP Han Dong-hoon menyebutkan presiden akan dikecualikan dari urusan luar negeri dan urusan negara lainnya, serta Perdana Menteri Han Duck Soo akan mengelola urusan pemerintahan.
Usulan ini menuai kritik dari oposisi yang menyebutnya tidak konstitusional. Mereka menegaskan Yoon Suk Yeol harus dimakzulkan atau mengundurkan diri dan menghadapi tuntutan hukum. Mereka pun berencana mengajukan lagi rancangan undang-undang pemakzulan pada hari Sabtu (14/12).
Chang Young Soo, profesor di Fakultas Hukum Universitas Korea, mengatakan presiden dapat mendelegasikan kewenangannya kepada perdana menteri, terutama dalam pengendalian militer, namun ada perdebatan apakah perdana menteri memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai kepala negara dalam urusan diplomatik.
"Selain itu, berbeda dengan wakil presiden AS yang dipilih langsung oleh rakyat, perdana menteri Korea Selatan tidak dipilih secara langsung. Hal ini membuat legitimasi demokratisnya lebih lemah. Oleh karena itu, muncul pertanyaan mengenai seberapa lama sistem ini dapat bertahan," ujarnya.
Pengakuan Pejabat Militer
Pemimpin oposisi Lee Jae Myung mengatakan pada hari Senin bahwa krisis politik ini mengancam akan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada ekonomi terbesar ke-4 di Asia, yang merupakan pemasok utama chip memori global.
Kementerian Keuangan Korea Selatan dan regulator menekankan mereka akan berupaya keras menstabilkan pasar keuangan dengan menerapkan rencana darurat dan meningkatkan likuiditas hingga akhir Desember.
Tanda ketidakpuasan terbaru di kalangan militer datang dari komandan pasukan khusus Korea Selatan yang menyatakan bahwa dia diperintahkan untuk mengirim pasukannya ke parlemen minggu lalu untuk menghentikan pemungutan suara yang menolak darurat militer.
Kolonel Kim Hyun Tae, komandan Grup Misi Khusus 707, mengaku dia bertanggung jawab atas tindakan pasukannya, namun dia bertindak atas perintah menteri pertahanan saat itu, Kim Yong Hyun.
"Kami semua adalah korban yang digunakan oleh mantan menteri pertahanan," kata dia kepada wartawan di luar kementerian pertahanan.
Dia menambahkan tidak memberitahukan militer tentang rencananya untuk berbicara kepada media karena takut akan dihentikan.
Keputusan Yoon Suk Yeol untuk memberlakukan keadaan darurat militer tidak hanya memicu protes di jalanan, namun juga memicu kekhawatiran besar di kalangan sekutu-sekutu Seoul.
Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Lloyd Austin membatalkan rencananya untuk pergi ke Korea Selatan dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menelepon rekan sejawatnya di Korea Selatan, mengatakan bahwa dia berharap proses demokrasi dapat berjalan dengan baik.
AS memiliki 28.500 tentara yang ditempatkan di Korea Selatan, sebagai warisan Perang Korea 1950-1953.
Kekacauan di Korea Selatan ini terjadi pada momen geopolitik yang penting di kawasan, dengan Korea Utara yang dilaporkan mengirim pasukan untuk membantu perang Rusia melawan Ukraina di tengah meningkatnya hubungan militer antara Rusia-Korea Utara.
Menteri Luar Negeri Korea Selatan Cho Tae Yul mengungkapkan kepada pejabat kementerian, "Kita juga harus terus berusaha keras untuk memulihkan kepercayaan mitra kita dan sekali lagi memenuhi harapan masyarakat internasional terhadap Korea."