Presiden Korea Selatan Minta Maaf Akibat Deklarasi Darurat Militer, Tapi Tak Mundur dari Jabatan

2 weeks ago 16

Liputan6.com, Seoul - Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol telah meminta maaf setelah deklarasi darurat militer, dengan mengatakan bahwa dia "sangat menyesal." Dia berpidato di hadapan rakyat pada hari Sabtu, 7 Desember, menjelang pemungutan suara pemakzulan di parlemen dan protes besar yang menuntut pengunduran dirinya.

"Deklarasi darurat militer muncul dari urgensi saya sebagai presiden," katanya dalam pidato singkat yang disiarkan di televisi, pertama kalinya dia muncul di hadapan publik sejak menjerumuskan negara ke dalam kekacauan politik seperti dikutip dari Le Monde.

"Namun, dalam prosesnya, saya menyebabkan kecemasan dan ketidaknyamanan bagi publik. Saya dengan tulus meminta maaf kepada warga yang sangat tertekan."

Yoon Suk Yeol mengejutkan negara dan komunitas internasional pada Selasa malam dengan memberlakukan darurat militer untuk pertama kalinya sejak tahun 1980-an dan mengerahkan pasukan dan helikopter ke parlemen. Namun, anggota parlemen berhasil menolak keputusan tersebut, yang memaksa Yoon untuk membatalkan perintah tersebut pada dini hari Rabu (4/12) dalam malam yang penuh drama luar biasa bagi negara yang dianggap sebagai demokrasi yang stabil.

Di bagian lain pidato Yoon pada hari Sabtu (7/12), ia mengatakan tidak akan mengabaikan tanggung jawab hukum atau politik atas deklarasi tersebut dan berjanji tidak akan mencoba lagi untuk memaksakannya. Ia mengatakan akan menyerahkannya kepada partai politik konservatifnya untuk memetakan arah melalui kekacauan politik negara itu, "termasuk masalah yang terkait dengan masa jabatan saya."

Polisi mengatakan mereka memperkirakan puluhan ribu pengunjuk rasa anti-Yoon akan turun ke jalan menjelang pemungutan suara, dengan penyelenggara memperkirakan jumlahnya mencapai 200.000 orang.

Akankan Presiden Korea Selatan Dimakzulkan?

Pemungutan suara untuk pemakzulan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol sejatinya tengah digelar. Blok oposisi memegang 192 kursi di parlemen yang beranggotakan 300 orang, sementara People Power Party (PPP) atau Partai Kekuatan Rakyat milik Yoon memiliki 108 kursi.

Adapun pemungutan suara yang berhasil akan menangguhkan Presiden Yoon dari jabatannya sambil menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi.

Ketua PPP Han Dong-hoon awalnya mengatakan akan menentang mosi tersebut, tetapi pada hari Jumat (6/12), ia mengatakan Yoon harus pergi.

Jika Yoon tetap bertahan, "ada risiko signifikan bahwa tindakan ekstrem yang mirip dengan deklarasi darurat militer dapat diulang, yang dapat membahayakan Republik Korea dan warganya," kata Han.

Perubahan sikap Han "sangat dipengaruhi oleh gawatnya situasi, khususnya mobilisasi badan intelijen untuk menangkap politisi," kata Shin Yul, seorang profesor ilmu politik di Universitas Myongji, kepada AFP.

Namun, Jumat malam (6/12), juru bicara PPP Shin Dong-uk mengatakan "tidak ada yang menyebutkan" tentang perubahan sikap partai dalam menentang mosi pemakzulan selama rapat umum partai darurat. Sebuah jajak pendapat yang dirilis Jumat menunjukkan dukungan untuk presiden berusia 63 tahun itu pada rekor terendah sebesar 13 persen.

Alasan Deklarasi Darurat Militer

Dalam pidatonya kepada rakyat Selasa malam (3/12), Yoon mengatakan darurat militer akan "melindungi Korea Selatan yang liberal dari ancaman yang ditimbulkan oleh pasukan komunis Korea Utara dan melenyapkan elemen anti-negara yang merampas kebebasan dan kebahagiaan rakyat".

Pasukan keamanan menyegel Majelis Nasional, helikopter mendarat di atap, dan hampir 300 tentara mencoba mengunci gedung.

Namun, saat staf parlemen menghalangi para tentara dengan sofa dan alat pemadam kebakaran, cukup banyak anggota parlemen yang berhasil masuk ke dalam – banyak yang memanjat tembok untuk masuk – dan menolak langkah Yoon.

Episode tersebut membawa kembali kenangan menyakitkan tentang masa lalu Korea Selatan yang otokratis dan mengejutkan sekutu-sekutunya, sementara pemerintah AS baru mengetahuinya melalui televisi.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada mitranya dari Korea Cho Tae-yul pada hari Jumat (6/12) bahwa ia "mengharapkan... proses demokrasi akan menang".

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |