Liputan6.com, Seoul - Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol menghadapi pemungutan suara pemakzulan kedua pada Sabtu (14/12/2024) setelah mencoba memberlakukan darurat militer, sebuah langkah yang mengejutkan negara, memecah partainya, dan mengancam kepresidenannya di tengah masa jabatannya.
Usahanya untuk memberlakukan darurat militer pada 3 Desember dibatalkan hanya dalam waktu enam jam setelah parlemen menentang keputusan itu. Meskipun dibatalkan, tindakan Yoon Suk Yeol menyebabkan krisis konstitusional dan banyak orang mendesaknya mundur karena melanggar hukum.
Partai oposisi berencana mengadakan pemungutan suara pemakzulan pada pukul 16.00 waktu setempat pada hari Sabtu, di mana demonstrasi besar-besaran berlangsung sebelum pemungutan suara.
Partai Yoon Suk Yeol, Partai Kekuasaan Rakyat (PPP), sebelumnya memboikot pemungutan suara pemakzulan pertama sepekan lalu, sehingga kuorum tidak tercapai.
Sejak itu, pemimpin PPP Han Dong-hoon, mendesak anggota partainya untuk mendukung pemakzulan kedua dan setidaknya tujuh anggota PPP sudah menyatakan akan melakukannya.
Partai oposisi menguasai 192 dari 300 kursi di parlemen, jadi mereka membutuhkan setidaknya delapan suara dari PPP untuk mencapai dua per tiga suara yang diperlukan untuk pemakzulan.
Ahn Cheol-soo, anggota PPP yang mendukung pemakzulan Yoon Suk Yeol, mengatakan via unggahan di Facebook bahwa dia menyokong pemakzulan "demi stabilitas kehidupan rakyat, ekonomi, dan diplomasi."
Namun, pemimpin fraksi PPP mengatakan bahwa posisi partainya masih menentang pemakzulan. Anggota parlemen PPP disebut bertemu pada Sabtu pagi untuk memutuskan apakah akan mengubah posisi itu.
Bola di Tangan Mahkamah Konstitusi
Jika dimakzulkan, Yoon Suk Yeol akan kehilangan kewenangannya, namun tetap menjabat sebagai presiden hingga Mahkamah Konstitusi memutuskan mencopot atau mengembalikannya. Sementara itu, Perdana Menteri Han Duck-soo akan bertindak sebagai presiden sementara.
Jika Yoon Suk Yeol dicopot atau mengundurkan diri, pemilihan presiden harus dilakukan dalam waktu 60 hari.
Yoon Suk Yeol juga sedang diselidiki terkait dugaan pemberontakan karena deklarasi darurat militer dan pihak berwenang telah melarangnya bepergian ke luar negeri.
Sejauh ini, Yoon Suk Yeol dilaporkan belum menunjukkan niat untuk mengundurkan diri dan dalam pidatonya pada Kamis (12/12), dia bersumpah akan "berjuang sampai akhir" dan membela keputusan darurat militer sebagai cara untuk mengatasi kebuntuan politik dan melindungi negara dari politikus yang merongrong demokrasi.
Yoon Suk Yeol, yang terpilih pada 2022, diterima baik di negara Barat karena dukungannya terhadap demokrasi global. Namun, banyak kritik mengatakan bahwa itu dilakukannya untuk menutupi masalah yang sedang berkembang di dalam negeri.
Dia sering bertentangan dengan anggota parlemen oposisi yang dia cap sebagai "kekuatan anti-negara", sementara organisasi pers mengkritik pendekatannya yang keras terhadap media yang dianggapnya menyajikan pemberitaan negatif.