Liputan6.com, Damaskus - Pada hari Selasa (10/12/2024), perdana menteri sementara Suriah menyatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mencapai "stabilitas dan ketenangan". Hal tersebut disampaikannya dua hari setelah pemerintahan pimpinan Presiden Bashar al-Assad digulingkan oleh pemberontak dalam serangan cepat.
Kelompok pemberontak kemudian menunjuk Mohammed al-Bashir sebagai kepala pemerintahan transisi yang akan memimpin negara itu hingga 1 Maret 2025.
"Sekarang saatnya bagi rakyat ini untuk menikmati stabilitas dan ketenangan," kata Bashir dalam wawancara pertamanya sejak dilantik, yang disiarkan oleh Al Jazeera seperti dikutip dari CNA, Rabu (11/12).
Assad melarikan diri dari Suriah ke Rusia, di mana dia dan keluarganya dilaporkan mendapat suaka, ketika aliansi pemberontak menyerbu ibu kota Damaskus pada akhir pekan lalu, mengakhiri kekuasaan brutal selama lima dekade rezim Assad.
Abu Mohammed al-Jolani atau Abu Mohammed al-Julani atau Abu Mohammed al-Jawlani, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang memimpin serangan pemberontak, sebelumnya mengumumkan rencana pembicaraan untuk transfer kekuasaan dan berjanji akan mengejar mantan pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan kejahatan perang.
Pada hari Selasa, dia berusaha meredakan kekhawatiran tentang bagaimana Suriah akan diperintah, dengan mengatakan kepada Sky News bahwa negara tersebut "lelah" akibat perang dan tidak akan kembali ke dalam konflik.
"Suriah akan dibangun kembali ... Negara ini bergerak menuju pembangunan dan rekonstruksi. Negara ini menuju stabilitas," ujarnya.
"Orang-orang sudah lelah dengan perang. Jadi, negara ini tidak siap untuk perang lain dan tidak akan terlibat dalam perang lagi."
HTS berasal dari cabang al-Qaeda di Suriah dan dianggap sebagai organisasi teroris oleh banyak pemerintah Barat, meskipun mereka berusaha memoderasi citranya.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mendesak semua negara untuk mendukung proses politik yang "inklusif" di Suriah, dengan mengatakan bahwa AS pada akhirnya akan mengakui pemerintahan yang memenuhi standar tersebut.
Blinken mengatakan bahwa pemerintahan masa depan Suriah harus "tepercaya, inklusif, dan non-sektarian".
Menguraikan prioritas AS, Blinken menjelaskan bahwa pemerintah baru harus "memenuhi komitmen yang jelas untuk sepenuhnya menghormati hak-hak minoritas" dan memungkinkan aliran bantuan kemanusiaan.
"AS ingin pemerintah berikutnya mencegah Suriah digunakan sebagai basis terorisme," tambahnya.
Meskipun tidak lagi menguasai wilayah di Suriah, ISIS masih aktif.
Observatorium Hak Asasi Manusia Suriah melaporkan bahwa anggota ISIS membunuh 54 tentara pemerintah setelah menangkap mereka saat melarikan diri melintasi padang pasir Suriah yang luas.
Utusan PBB untuk Suriah menyebutkan bahwa kelompok-kelompok yang memaksa Assad melarikan diri harus mengubah "pesan baik" mereka menjadi tindakan nyata di lapangan.
"Mereka telah mengirimkan pesan tentang kesatuan, inklusivitas," kata Geir Pedersen. "Apa yang kita tidak ingin lihat adalah ... bahwa ini tidak diikuti dengan tindakan nyata dalam hari-hari dan minggu-minggu mendatang."
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Kaja Kallas,memperingatkan tentang risiko kekerasan sektarian dan kebangkitan ekstremisme pasca runtuhnya rezim Assad.
"Kita harus menghindari pengulangan skenario mengerikan di Irak, Libya, dan Afghanistan," ujarnya.
Perang saudara Suriah yang berlangsung hampir 14 tahun telah menewaskan setidaknya 500.000 orang dan memaksa separuh populasi negara itu melarikan diri dari rumah mereka, dengan jutaan di antaranya mencari perlindungan di luar negeri.