OPINI: Apa Hubungan Sinterklas dan Ayaz Ata?

13 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Setiap bulan Desember, dunia mengenal sosok Sinterklas sebagai pembawa keceriaan Natal. Namun, jarang yang tahu bahwa ada tokoh serupa dalam mitologi Turki yang dikenal sebagai Ayaz Ata. Meski berasal dari budaya yang berbeda, Sinterklas dan Ayaz Ata memiliki beberapa kemiripan yang menarik untuk ditelusuri.

Bahkan, ada kemungkinan bahwa sosok Sinterklas modern mendapatkan inspirasi dari sosok legenda Turki ini. Ayaz Ata, yang berarti "Ayah Salju," adalah figur mitologis dari tradisi Turki dan Asia Tengah yang muncul di musim dingin sebagai simbol kebijaksanaan, kemurahan hati, dan perlindungan.

Ayaz Ata digambarkan sebagai pria tua berjanggut putih yang menampakkan diri kepada orang miskin, tunawisma, dan lapar yang akan mati membeku di musim dingin yang ekstrem dan melindungi mereka.

Menurut cerita, Ayaz Ata ditemani oleh pendamping perempuan, seperti putrinya 'Ayaz Kız' atau 'Kar Kızı', Sang Gadis Salju yang membantunya dalam perbuatan baik. Di berbagai budaya Asia Tengah, ia dikenal dengan nama-nama lokal seperti 'Ayaz Han' di Siberia, 'Ayoz Bobo' di Uzbekistan dan 'Ayaz Ata' di Kazakstan serta Kirgistan.

Ayaz Ata adalah dewa musim dingin yang berasal dari Tengrisme dan menurut mitologi Turki diciptakan dari cahaya Bulan, yang disebabkan oleh cuaca dingin dan dikaitkan dengan membawa salju, melindungi orang-orang dari ganasnya cuaca dingin.

Hari raya 'Soğumbası' di kalangan masyarakat Kazakh, yang dirayakan saat salju pertama turun berkaitan dengan penghormatan terhadap Ayaz Ata. Menurut kisah ini, enam bintang khusus di konstelasi Ulker merupakan enam lubang di langit dan Ayaz Ata meniupkan udara dingin ke bumi dari lubang-lubang ini, dengan demikian musim dingin pun tiba.

Secara etimologis bahasa Turki, Ayaz berarti dingin yang membakar, karena bulan muncul dalam cuaca cerah saat terlihat jelas di langit. Masyarakat Turki pra-Islam mengira Dewa Bulan (Ayaz Han) telah memberikan langit sebagai hadiah bagi manusia.

Selama malam musim dingin yang panjang, hewan-hewan ternak dan anggota keluarga rentan seperti orangtua, anak-anak dan perempuan yang terdampar di luar rumah mati kedinginan. Peristiwa ini menyebabkan ketakutan dan keputusasaan meningkat diantara orang Turki.

Bangsa Turki Utara yang tinggal di sekitar Siberia dan Pegunungan Altay merayakan titik balik matahari musim dingin khususnya menggunakan shaman atau spiritualis, karena mereka dianggap sebagai manusia paling bijak di komunitas dan dimintai pendapatnya untuk mencapai Tuhan.

Sementara itu di kalangan bangsa Oghuz yang dianggap sebagai orang Turki Selatan, tradisi ini lebih dirayakan sebagai Nevruz. Ayaz Ata berkomunikasi dengan Dewa Bulan di kalangan orang Turki dan bertindak sebagai perantara untuk mengakhiri cuaca dingin.

Hari Raya Nardugan

Nardugan adalah hari raya yang dirayakan masyarakat Turki di wilayah Volga-Ural, bangsa Turki pra-Islam merayakan Nardugan sebagai hari raya titik balik matahari musim dingin pada tanggal 21 Desember dan diduga memiliki keterkaitan dengan Natal dalam agama Kristen.

Ahli Turkologi Murad Adji dan Ahli Sumerologi Muazzez İlmiye Çığ menyatakan bahwa bangsa Turki merayakan Nardugan sebelum memeluk Islam. Nardugan merupakan bagian dari perayaan titik balik matahari musim dingin yang dirayakan masyarakat pagan di Eropa, Asia Tengah dan Siberia.

Kepercayaan ini juga dirayakan sebagai Dionysus di Yunani Kuno dan Saturnalia di Romawi Kuno. Muazzez Çığ menyebutkan bahwa ada kesamaan antara Nardugan dengan Natal, bahwa tradisi menghias pohon Malam Tahun Baru diwariskan dari mitologi Turki ke agama Kristen.

Ketika bangsa Turki tinggal di Asia Tengah hidup sebagai masyarakat nomaden dan tidak membangun kehidupan yang menetap. Mereka hidup dalam ritual yang kuat dalam kepercayaan sebelum menerima agama Islam. Matahari memegang tempat yang penting dalam kehidupan tradisional bangsa Turki.

Selama perayaan Nardugan, ritual dan doa khusus dipanjatkan kepada Dewa Ulgen dan berbagai ornamen kain berwarna diikatkan pada pohon pinus putih untuk pemenuhan keinginan. Tradisi ini dikenal sebagai “Pohon Kehidupan” karena tidak menggugurkan daunnya bahkan di musim dingin dan tetap hidup sepanjang musim.

Sementara itu, di banyak negara pohon Natal secara tradisional dihias untuk menyambut tahun baru dan kepercayaan kepada Sinterklas yang membawa hadiah.

Hubungan lainnya antara Natal dengan Nardugan adalah adanya rusa kutub Sagun yang berasal dari Asia Tengah. Ayaz Ata menaiki kereta luncur yang ditarik oleh rusa kutub ini sama dengan penggunaan rusa kutub Sinterklas yang menjadi simbol dalam dunia Kristen.

Kemungkinan hubungan antara Ayaz Ata dan Sinterklas memungkinkan jika dilihat dari lintasan sejarah budaya. Ketika bangsa Turki mulai berinteraksi dengan budaya Kristen Bizantium melalui perdagangan dan peperangan, tradisi ini turut mempengaruhi perkembangan legenda Sinterklas di Eropa.

Apalagi, kisah tentang Sinterklas awalnya terinspirasi oleh figur historis Santo Nikolas, seorang uskup di Myra (kini wilayah Turki). Perpaduan budaya ini berpotensi menyerap unsur dari mitologi lokal, termasuk dari sosok Ayaz Ata.

Santo Nikolas Sang Uskup Myra

Turki memiliki signifikansi historis sebagai wilayah asal Santo Nikolas yang dikenal sebagai salah satu figur paling berpengaruh dalam tradisi Natal di dunia Barat. Santo Nikolas lahir di kota Patara yang terletak di wilayah Lycia (sekarang bagian Turki modern), pada abad ke-3 Masehi.

Saat muda dia bepergian ke Palestina dan Mesir, kemudian menjadi Uskup Myra, sebuah kota kuno yang kini dikenal sebagai Demre di Provinsi Antalya, Turki. Santo Nikolas terkenal karena kedermawanannya, terutama kepada anak-anak dan mereka yang membutuhkan.

Warisannya sebagai seorang pelindung anak-anak, pelaut, dan orang miskin menjadikannya tokoh yang sangat dihormati dalam Kekristenan.

Setelah kematiannya, reputasi Santo Nikolas menyebar ke berbagai belahan dunia Kristen. Reputasi Santo Nikolas memunculkan legenda tentang mukjizat yang ia lakukan untuk orang miskin.

Ia dikabarkan telah memberikan hadiah berupa emas kepada tiga gadis yang jika tidak diberikan emas akan dipaksa jatuh dalam pelacuran karena kemiskinan. Santo Nikolas juga dikisahkan telah menghidupkan kembali tiga anak kecil yang telah mati dipotong-potong oleh seorang tukang daging dan dimasukkan ke dalam bak air garam.

Santo Nikolas juga pernah dipenjara dan disiksa selama masa penganiayaan terhadap umat Kristen oleh Kaisar Romawi Diocletian tetapi dibebaskan di bawah pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung. Ia dipercaya menghadiri Konsili Nicea pertama pada tahun 325, di mana ia diduga berdebat dengan pemimpin sekte Unitarian Arius.

Tradisi perayaan hari Santo Nikolas yang jatuh pada 6 Desember berkembang di Eropa, khususnya di Belanda dan Jerman. Dari sini, citra Santo Nikolas mulai bercampur dengan elemen lokal termasuk mitologi dan tradisi pra-Kristen.

Citranya berubah drastis di Eropa Barat, khususnya setelah tradisi Belanda tentang Sinterklas dibawa ke Amerika Utara oleh para imigran Belanda pada abad ke-17.

Di Amerika, nama Sinterklas berkembang menjadi Santa Claus dan elemen baru seperti rusa kutub, hadiah malam Natal dan pakaian merah ditambahkan pada abad ke-19, dipengaruhi oleh puisi populer seperti “A Visit from St. Nicholas” dan ilustrasi oleh seniman seperti Thomas Nast.

Meskipun Santo Nikolas berasal dari Turki, transformasinya menjadi Sinterklas mencerminkan pengaruh berbagai budaya, termasuk kemungkinan dari sosok mitologis seperti Ayaz Ata.

Baik Ayaz Ata maupun Sinterklas adalah simbol kebaikan yang melampaui batas budaya, persamaan diantara keduanya menunjukkan bahwa nilai kemurahan hati dan perlindungan terhadap yang lemah bersifat universal.

Dengan mempelajari sosok seperti Ayaz Ata, kita dapat memahami kekayaan budaya Turki yang ikut mewarnai tradisi Natal seperti yang dikenal saat ini. Ketika bangsa Turki berinteraksi dengan tradisi Kristen Bizantium dan bercampur dengan budaya lokal, beberapa unsur mitologi Ayaz Ata turut berpengaruh pada pembentukan citra Sinterklas di Eropa.

Penulis: Dosen IBI Kosgoro 1957 dan Peneliti Cakramandala Institute/ Yollanda Vusvita Sari, M.Pd

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |