Liputan6.com, Jakarta - Warga Amerika Serikat (AS) tengah menanti hasil akhir pemilihan presiden (pilpres) 2024 yang akan menentukan siapa pemimpin resmi mereka untuk empat tahun ke depan.
Demikian juga masyarakat dunia yang menunggu siapa yang sah akan menjadi presiden dari negara adidaya itu, di mana nantinya turut menetukan kebijakan luar negeri AS dan berbagai isu dunia, termasuk perang Israel Vs Hamas di Gaza.
Calon presiden Partai Demokrat Kamala Harris dan calon presiden Partai Republik Donald Trump diketahui bersaing secara ketat dalam Pilpres AS 2024.
Pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja menyebut bahwa siapapun yang terpilih menjadi presiden AS, tidak ada yang berpihak pada Palestina.
"Siapa pun yang terpilih, dua-duanya tidak pro-Palestina. Dua-duanya sama sekali tidak pro-Palestina. Dua-duanya juga tidak ada niat untuk menghentikan bantuan ke Israel," tutur Dinna kepada Liputan6.com, Senin (4/11/2024).
Yang membedakan hanya, Trump bisa bersuara lebih vokal terhadap Israel sementara Harris tidak.
"Trump mungkin bisa teriak ke (PM Israel Benjamin) Netanyahu, bilang 'Jangan paksa kita' atau 'Jalan sendiri saja dengan idemu, kita nggak mau terang-terangan backing'. Sementara Kamala Harris tidak bisa," lanjut Dinna.
Menjelang pemilu AS, sejumlah pendeta Hindu di India menggelar doa untuk kemenangan kandidat yang mereka dukung.
Kamala Harris Hanya Kuat di Retorika
Meski Harris berulang kali lebih tegas secara retorika dengan menyatakan akan menghentikan perang dan mendorong gencatan senjata, namun faktanya tidak ada yang terlaksana.
Menurut Dinna, keputusan gencatan senjata hanya tergantung pada Israel semata.
"Israel itu sudah berapa kali, dari berpuluh-puluh tahun saya ikuti isu Israel, setiap kali dia bilang mau gencatan senjata itu susahnya setengah mati. Kalau kubunya kanan di Israel, itu suka nggak suka, kamu harus ikut dia, gitu lah, sistemnya si Israel itu," jelas dia.
Posisi Israel saat ini, ungkap Dinna, berada di kubu kanan yang radikal. Posisi itu memiliki satu tujuan yang jelas, ingin menghilangkan Palestina.
"Di dalam negeri Israel itu posisinya sudah sangat solid. Secara umum, publik Israel masih memandang positif Netanyahu," tambah Dinna.
"Karena memang di dalam negeri mereka, tidak mau. Tidak berubah, dan jauh lebih kejam karena sangat kanan."