Liputan6.com, Jakarta - Bumi pernah mengalami bencana luar biasa yang disebabkan oleh sebuah meteor raksasa yang menghantam planet ini sekitar 3,26 miliar tahun yang lalu. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences mengungkapkan betapa dahsyatnya dampak peristiwa ini terhadap kondisi geologis dan kehidupan awal di bumi.
Melansir laman Science Daily pada Senin (11/11/2024), studi ini berfokus pada meteor yang dikenal dengan sebutan "S2". Meteor berukuran empat kali lebih tinggi dari Gunung Everest ini menghantam bumi pada masa awal pembentukan kehidupan, menyebabkan gelombang bencana yang mengubah bentuk geologis bumi.
Penelitian ini dilakukan oleh Nadja Drabon, seorang ahli geologi bumi purba dan asisten profesor di Departemen Ilmu bumi dan Planet di Universitas Harvard. Bersama tim penelitiannya, Drabon mengumpulkan dan memeriksa sampel batuan yang terpisah beberapa sentimeter dari lapisan-lapisan purba yang terkubur di sabuk Barberton Greenstone Belt, Afrika Selatan.
Kini, kawasan ini menjadi salah satu situs geologi paling penting untuk mempelajari sejarah awal bumi. Dengan menggunakan berbagai teknik analisis, termasuk studi sedimentologi, geokimia, dan komposisi isotop karbon, Drabon dan timnya berhasil menemukan bukti-bukti yang mengarah pada kejadian dahsyat yang pernah terjadi di masa lalu.
Melalui analisis tersebut, mereka membangun gambaran tentang dampak dari meteor S2, yang diperkirakan memiliki ukuran 200 kali lipat dari meteor yang menewaskan dinosaurus 66 juta tahun lalu. Dampak dari hantaman meteor S2 pada bumi diperkirakan sangat besar, memicu serangkaian peristiwa alam yang tidak hanya mengubah wajah planet ini, tetapi juga memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan purba yang ada saat itu.
Meteor S2 yang menghantam bumi sekitar 3,26 miliar tahun yang lalu diperkirakan memicu tsunami besar yang mengguncang samudra purba dan mengubah iklim secara dramatis. Tsunami ini membentuk gelombang-gelombang besar yang menghanyutkan puing-puing daratan ke kawasan pesisir.
Suhu Lautan Melonjak
Akibat hantaman yang luar biasa kuat, suhu lautan yang paling atas langsung melonjak tajam hingga menyebabkan perairan tersebut mendidih. Tidak hanya itu, atmosfer bumi pun dipanaskan secara ekstrem.
Salah satu dampak signifikan dari peristiwa ini adalah terciptanya awan debu tebal yang menyelimuti seluruh planet. Awan debu ini menghalangi sinar matahari, yang pada gilirannya menyebabkan gangguan besar pada proses fotosintesis yang sedang berlangsung.
Aktivitas fotosintesis yang vital bagi kehidupan di Bumi pun terhenti, mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan mikroorganisme yang bergantung padanya. Namun, meskipun banyak bentuk kehidupan terancam, bakteri menunjukkan ketahanan yang luar biasa terhadap bencana ini.
Drabon dan tim penelitiannya menemukan bahwa meskipun banyak kehidupan lainnya mati atau terhenti, bakteri purba yang ada saat itu memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sangat ekstrem. Hal ini membuka wawasan baru mengenai sifat adaptif organisme paling primitif yang dapat bertahan bahkan dalam lingkungan yang ekstrem.
Setelah dampak dari meteor S2, para peneliti menemukan adanya lonjakan populasi bakteri yang memetabolisme zat besi dan fosfor. Fenomena ini berkaitan dengan peristiwa tsunami yang mengaduk lautan dalam dan membawa unsur-unsur kimia tersebut ke perairan dangkal.
Selain itu, meteorit S2 sendiri juga membawa fosfor, turut berkontribusi pada peningkatan jumlah bakteri yang menggunakan unsur tersebut sebagai sumber energi. Pergeseran ke arah dominasi bakteri yang menyukai zat besi ini merupakan salah satu bagian penting dari evolusi kehidupan awal di Bumi.
Menurut Drabon, meskipun perubahan ini hanya berlangsung singkat, itu memberikan gambaran kunci tentang bagaimana kehidupan mikroba berevolusi dan bertahan melalui perubahan lingkungan yang ekstrem. Keberadaan bakteri yang memanfaatkan besi sebagai sumber energi menunjukkan bagaimana organisme pertama di bumi bisa beradaptasi dan berkembang dalam kondisi yang sangat berbeda dibandingkan dengan kehidupan modern saat ini.
Bukti Geologis dari Peristiwa Meteor S2 di Afrika Selatan
Salah satu kontribusi terbesar dari studi ini adalah bukti-bukti geologis yang ditemukan di sabuk Barberton Greenstone di Afrika Selatan. Daerah ini dikenal sebagai salah satu tempat terbaik untuk mempelajari geologi bumi purba karena mengandung lapisan-lapisan batuan yang terawetkan dengan sangat baik selama miliaran tahun.
Di tempat ini, Drabon dan timnya menemukan jejak-jejak peristiwa tumbukan meteor. Termasuk S2 yang meninggalkan tanda kimiawi dan sedimen yang dapat dipelajari untuk memahami dampak dari peristiwa tersebut.
Melalui penelitian lapangan yang dilakukan di kawasan ini, Drabon dan timnya berhasil mendaki ke celah-celah gunung dan memeriksa lapisan-lapisan batuan yang terbentuk akibat semburan material dari tumbukan meteor. Lapisan batuan tersebut memberikan bukti fisik dan kimiawi dari dampak yang ditinggalkan oleh meteor tersebut, termasuk perubahan dalam komposisi kimiawi sedimen yang terbentuk setelah peristiwa tsunami dan bencana lainnya.
The Barberton Greenstone Belt tidak hanya menyimpan bukti peristiwa meteor S2, tetapi juga menunjukkan adanya setidaknya delapan peristiwa tumbukan meteor besar lainnya yang terjadi di Bumi purba. Temuan ini memberikan wawasan yang lebih dalam tentang sejarah geologi bumi dan bagaimana peristiwa-peristiwa besar ini berkontribusi terhadap perkembangan kehidupan di planet ini.
(Tifani)