Liputan6.com, Kairo - Mesir akan mengadakan pertemuan puncak negara-negara Arab pada 27 Februari 2025 untuk membahas "perkembangan serius terbaru" terkait wilayah Palestina. Demikian disampaikan Kementerian Luar Negeri Mesir pada Minggu (9/2/2025).
"KTT darurat Arab" ini diadakan saat Mesir berusaha menggalang dukungan dari negara-negara regional untuk menanggapi rencana Presiden Donald Trump yang ingin memindahkan warga Palestina dari Jalur Gaza ke Mesir dan Yordania, sambil menetapkan kendali Amerika Serikat (AS) atas wilayah pesisir tersebut.
Pernyataan pada Minggu menyebutkan bahwa pertemuan ini dijadwalkan setelah Mesir melakukan konsultasi intensif dengan negara-negara Arab di tingkat tertinggi dalam beberapa hari terakhir, termasuk Palestina yang mendesak diadakannya pertemuan ini.
"Hal ini berdasarkan pula koordinasi dengan Bahrain, yang saat ini memimpin Liga Arab," ungkap pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir, seperti dikutip dari CNA, Senin (10/2).
Pada Jumat (7/2), Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty berbicara dengan mitra-mitra regional termasuk Yordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab untuk memperkuat penolakan terhadap pemindahan paksa warga Palestina dari tanah mereka.
Pekan lalu, Trump mengemukakan gagasan kontroversial atas Jalur Gaza, di mana dia berencana membangun kembali wilayah yang hancur tersebut menjadi "Riviera Timur Tengah" setelah memindahkan warga Palestina ke tempat lain, yakni Mesir dan Yordania.Riviera merujuk pada daerah pesisir yang indah. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan kawasan pesisir yang mewah dan elegan, seperti "French Riviera" di Prancis atau "Italian Riviera" di Italia.
Pernyataan tersebut memicu kecaman global dan penolakan tegas negara-negara Arab, yang menekankan penyelesaian konflik Israel-Palestina pada solusi dua negara.
Dukungan Israel pada Gagasan Trump
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memuji rencana Trump untuk memindahkan warga Palestina dari Jalur Gaza, dengan mengatakan bahwa Israel siap untuk "melakukan pekerjaan itu".
"Saya pikir proposal Presiden Trump adalah ide segar pertama dalam bertahun-tahun dan ini memiliki potensi untuk mengubah segalanya di Gaza," kata Netanyahu dalam wawancara dengan Fox News yang disiarkan pada Sabtu (8/2) malam, menambahkan bahwa proposal ini mewakili 'pendekatan yang benar' untuk masa depan wilayah Palestina.
"Yang dikatakan Trump adalah, 'Saya ingin membuka pintu dan memberi mereka pilihan untuk pindah sementara, sementara kami membangun kembali tempat ini secara fisik'."
Dia mengatakan lebih lanjut, "Trump tidak pernah mengatakan bahwa dia ingin pasukan Amerika yang melakukannya. Tebak apa? Kami yang akan melakukannya."
Israel merebut Jalur Gaza pada 1967 dan mempertahankan kehadiran militernya di wilayah tersebut hingga 2005, ketika mereka menarik pemukim dan pasukannya.
Kemudian, Israel memberlakukan blokade yang menghancurkan terhadap wilayah yang dikuasai Hamas tersebut dan menjadikannya terkepung setelah perang dimulai pada Oktober 2023.
Israel dan kelompok bersenjata di Jalur Gaza telah terlibat dalam beberapa perang dalam beberapa tahun terakhir, namun yang terbaru – dipicu oleh serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 2023 terhadap Israel – adalah yang paling mematikan dan merusak.
Netanyahu menjelaskan bahwa rencana Trump merupakan langkah yang berbeda dari pendekatan sebelumnya, yang selalu berakhir dengan "Kami pergi, Gaza kembali dikuasai oleh teroris yang menjadikannya sebagai basis untuk menyerang Israel ... Itu tidak membuahkan apa-apa."
"Saya rasa kita harus melanjutkannya," tambahnya, sembari mengingatkan bahwa 'persoalan sebenarnya' adalah menemukan negara yang bersedia menerima pengungsi Jalur Gaza.
Pemimpin Israel itu juga menegaskan bahwa warga Palestina yang dipindahkan harus "menyatakan penolakan terhadap terorisme" agar mereka diizinkan kembali ke Jalur Gaza.
Bagi warga Palestina, setiap upaya memaksa mereka keluar dari Jalur Gaza akan membangkitkan kenangan kelam tentang apa yang disebut dunia Arab sebagai "Nakba" atau bencana, yakni pemindahan massal warga Palestina saat pembentukan Israel pada 1948.
"Semua orang menggambarkan Gaza sebagai penjara terbuka terbesar di dunia," kata Netanyahu.
"Keluarkan penduduknya, biarkan mereka pergi. Bukan pengusiran paksa, bukan pembersihan etnis — mengeluarkan orang-orang dari apa yang dikatakan oleh semua negara dan orang-orang baik sebagai penjara terbuka. Mengapa Anda menahan mereka di penjara?"