Liputan6.com, Jakarta - Dalam upaya mempercepat transisi menuju ekonomi hijau dan meningkatkan daya saing industri, pemerintah Indonesia tengah mengembangkan berbagai strategi, mulai dari penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS), pengembangan energi terbarukan, hingga optimalisasi industri hilirisasi.
Meski menghadapi tantangan kapasitas teknologi dan sumber daya manusia, pemerintah tetap optimistis dalam membangun fondasi transformasi ekonomi berkelanjutan selama lima tahun ke depan.
Di tengah permintaan energi yang terus meningkat, pemerintah mulai menerapkan teknologi CCS, terutama pada pembangkit listrik berbasis batu bara. Teknologi ini dirancang untuk menangkap karbon yang dihasilkan dan menyimpannya di lokasi-lokasi yang telah habis dieksploitasi, seperti sumur minyak dan gas yang sudah tidak digunakan.
"Kami telah berkonsultasi dengan Komisi Eropa di Brussel, dan mereka mengakui teknologi ini sebagai metode yang efektif untuk mengurangi emisi karbon," ungkap Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan dalam sesi workshop bersama jurnalis peserta Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea (IKJN) 2024 yang diselenggarakan oleh FPCI dan Korea Foundation (KF) di Hotel Le Meridien, Jakarta, Senin (9/12/2024).
Hal ini dinilai menjadi langkah penting untuk menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan energi nasional dan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon.
Pengembangan Industri Hilirisasi
Selain fokus pada CCS, pemerintah juga gencar mengembangkan industri hilirisasi. Sebanyak 28 komoditas menjadi prioritas dalam roadmap hilirisasi, termasuk rumput laut yang memiliki potensi besar untuk mendukung industri farmasi dan kosmetik.
Meskipun Indonesia merupakan produsen rumput laut tropis terbesar di dunia, kualitas produk turunannya seperti karagenan masih berada pada tingkat terendah. Hal ini disebabkan keterbatasan teknologi pascapanen.
"Jika kita memiliki teknologi dan kapasitas yang memadai, produk hilir rumput laut dapat memberikan nilai tambah yang signifikan bagi industri," ungkap Nurul.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah mendorong kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan institusi pendidikan melalui pendekatan triple helix. Penelitian di universitas diharapkan dapat memberikan kontribusi langsung pada inovasi di industri, seperti yang telah diterapkan di negara-negara maju.
"Saat ini, banyak penelitian di universitas hanya berfokus pada akademik tanpa hubungan langsung dengan kebutuhan industri. Ke depan, kita harus membangun ekosistem riset yang didanai oleh sektor swasta untuk menciptakan inovasi yang relevan," jelas Nurul.
Pentingnya Sinergi
Untuk mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan super-tax deduction. Perusahaan yang mengadakan pelatihan vokasi atau penelitian dan pengembangan (R&D) dapat menerima insentif pajak hingga 200% untuk pelatihan dan hingga 300 persen untuk R&D dari total biaya yang dikeluarkan.
"Kebijakan ini bertujuan menarik lebih banyak investasi di bidang pelatihan dan R&D, sehingga dapat menciptakan tenaga kerja yang kompeten dan inovasi yang mendukung transformasi ekonomi," tambahnya.
Lima tahun ke depan akan menjadi periode penting untuk membangun fondasi transformasi ekonomi Indonesia. Pemerintah menekankan pentingnya sinergi antara ekonomi hijau, ekonomi biru, dan ekonomi digital yang didukung oleh pengembangan kapasitas teknologi dan inovasi.
"Kita tidak bisa mencapai tujuan ini tanpa meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, kerja sama lintas sektor menjadi kunci untuk memastikan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," tutup dia.
Dengan langkah-langkah strategis ini, Indonesia diharapkan dapat memperkuat posisinya dalam rantai pasok global dan menciptakan ekonomi yang lebih hijau, berdaya saing, serta berkelanjutan.