Liputan6.com, Islamabad - Dunia menyaksikan dengan ngeri ketika India dan Pakistan, dua negara bertetangga yang sama-sama memiliki senjata nuklir, saling melancarkan serangan rudal beberapa waktu lalu. Dan di tengah meningkatnya ketegangan, para analis militer mencermati sebuah perkembangan yang mencolok: Pakistan menggunakan jet tempur buatan China untuk menembak jatuh pesawat-pesawat India.
Pada 7 Mei 2025, India meluncurkan rudal ke wilayah Pakistan sebagai balasan atas serangan militan di wilayah Kashmir yang dikuasai India pada 22 April, yang menewaskan 26 orang. India menyalahkan Pakistan karena mendukung para militan yang bertanggung jawab atas serangan itu, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Islamabad.
Konflik pun meningkat melalui serangan balasan.
Pakistan pada hari yang sama mengklaim telah menembak jatuh lima jet tempur Angkatan Udara India menggunakan rudal buatan China yang diluncurkan dari jet tempur J-10C, yang juga buatan China.
Menteri Luar Negeri Pakistan Ishaq Dar mengaku kepada parlemen bahwa di antara jet tempur yang berhasil ditembak jatuh adalah Rafale buatan Prancis. Dar menyebutkan dirinya telah memberi tahu pemerintah China dan mereka merasa senang.
Penggunaan J-10C oleh Pakistan menandai pertama kalinya jet buatan China tersebut — beserta rudal PL-15 yang dibawanya — digunakan dalam pertempuran nyata di dunia mana pun. Hal ini memberi para analis militer kesempatan langka untuk mengamati kemampuan jet secara langsung, sekaligus menjadi studi kasus penting bagi militer China, PLA.
"Setiap negara yang memproduksi atau membeli senjata pasti ingin tahu bagaimana performa senjatanya dalam konflik nyata. Tes dan latihan memang bisa memberi gambaran tentang kemampuan senjata, namun ujian sebenarnya tetaplah di medan tempur," kata Siemon Wezeman, peneliti senior di Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) seperti dikutip The Guardian.
SIPRI memperkirakan bahwa China adalah pemasok utama senjata militer Pakistan, dengan kontribusi lebih dari 80 persen dari total persenjataan — mulai dari jet tempur hingga kapal angkatan laut dan rudal.
Andrew Small, peneliti senior di German Marshall Fund yang berbasis di Berlin, mengatakan bahwa China mendapat keuntungan dengan menyaksikan senjata-senjatanya digunakan melawan senjata buatan Barat.
"Ini memberi mereka kesempatan untuk menilai kinerja sistem mereka dalam kondisi yang jauh lebih kompleks dan menantang dari biasanya. Dan dengan Pakistan, ini bukan hanya soal jet tempur, tapi juga rudal, sistem radar, serta seluruh tulang punggung teknologi militer Pakistan — dari kemampuan perang elektronik hingga sistem satelit," ujarnya.
Alarm bagi Taiwan?
Bukan hanya senjata buatan Barat yang menjadi tolok ukur pengujian bagi jet tempur buatan China. India juga mendapat dukungan dari dua kekuatan besar lainnya: rival utama China, yaitu Amerika Serikat (AS), dan sekutu terdekatnya, Rusia, yang menyuplai 36 persen dari total impor senjata India.
Namun, para analis mengatakan bahwa insiden ini menjadi peringatan penting tentang kemampuan militer China, terutama terkait Taiwan.
"Kita mungkin perlu menilai ulang kemampuan tempur udara PLA, yang bisa jadi sudah mendekati atau bahkan melampaui kekuatan udara AS di kawasan Asia Timur," ujar Shu Hsiao-Huang, peneliti senior dari Institut Penelitian Pertahanan Nasional dan Keamanan — lembaga yang terafiliasi dengan Kementerian Pertahanan Taiwan — kepada Bloomberg.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, militer China telah mengalami modernisasi dan ekspansi dengan target mampu melancarkan invasi darat dan udara ke Taiwan pada 2027.
Hu Xijin, mantan pemimpin redaksi Global Times, mengatakan bahwa insiden ini menunjukkan Taiwan seharusnya merasa semakin takut.
Sebagian dari rencana kontinjensi China mencakup asumsi bahwa militer AS dan mungkin negara-negara lain akan terlibat dalam upaya membela Taiwan.
Yun Sun, direktur program China di Stimson Center, menuturkan bahwa dua medan pertempuran tersebut tidak sepenuhnya bisa dibandingkan karena invasi ke Taiwan kemungkinan akan melibatkan lebih banyak peran dari angkatan laut, marinir, dan angkatan darat, dibandingkan konflik terbatas antara India dan Pakistan.
"Dan secara teknis, India tidak menggunakan sistem persenjataan buatan AS selama putaran konflik ini," sebut Sun. "Namun, kemenangan mengejutkan dari J-10C dan rudal PL-15 buatan China akan memaksa orang untuk mempertimbangkan kembali keseimbangan kekuatan militer jika terjadi konflik di Taiwan."
Reputasi China
Kabar keberhasilan J-10C dalam menghadapi Rafale juga memberikan dorongan besar bagi reputasi China sebagai produsen dan penjual senjata. Meskipun China adalah eksportir senjata terbesar keempat di dunia, lebih dari setengah ekspornya dikirim ke Pakistan, dan sisanya sebagian besar menuju negara-negara berkembang yang lebih kecil.
Dalam memperluas pasar globalnya, China juga menghadapi tantangan besar karena harus beroperasi di tengah sanksi AS.
Sementara itu, harga saham Chengdu Aircraft Corporation, produsen J-10C, dilaporkan melonjak tajam setelah kabar ini mencuat.
Small mengungkapkan bahwa Pakistan sering diposisikan sebagai ajang pamer senjata buatan China.
"Performa yang baik akan menunjukkan kepada pihak lain keuntungan menjalin kemitraan erat dengan Beijing seiring meningkatnya kemampuan PLA, terlebih karena beredar rumor bahwa China memberikan kepada Pakistan versi rudal PL-15 dengan jangkauan yang lebih jauh dibanding varian ekspor biasanya," tutur Small.
Wezeman menambahkan masih terlalu terbatas untuk dapat menarik kesimpulan yang tegas mengenai kapabilitas militer China, yang dalam beberapa waktu terakhir juga dilanda skandal korupsi.
"Meski demikian, konflik (India-Pakistan) tampaknya menguatkan penilaian umum bahwa senjata-senjata buatan China mulai terbukti mampu menandingi senjata-senjata buatan Barat," kata Wezeman.
Belum Ada Pernyataan Resmi yang Membantah
Baik militer maupun pemerintah China tidak secara resmi membantah ataupun merayakan klaim terkait J-10C. Saat dimintai keterangan, Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa mereka "tidak mengetahui" situasinya.
Namun, pada Selasa (13/5), Wakil Menteri Luar Negeri China Sun Weidong bertemu dengan Duta Besar Pakistan untuk China Khalil Hashmi.
Dalam perkembangan lainnya, Kedutaan Besar India di China menuduh Global Times telah menyebarkan disinformasi setelah media China tersebut menerbitkan laporan yang menyatakan bahwa Pakistan menembak jatuh jet tempur India. Namun di luar itu, pemerintah India belum secara resmi mengonfirmasi atau membantah klaim Pakistan.
Ketika ditanya oleh wartawan, pejabat tinggi Angkatan Udara India menolak memberi rincian dan hanya mengatakan, "Semua pilot kami sudah kembali ke rumah."
Kementerian Luar Negeri China menegaskan pihaknya mendukung upaya perdamaian India-Pakistan.
"China menyambut dan mendukung upaya Pakistan dan India untuk mencapai gencatan senjata yang komprehensif dan berkelanjutan. China siap terus memainkan peran konstruktif dalam hal ini," ungkap Kementerian Luar Negeri China.