Liputan6.com, Riyadh - Penyelenggaraan pertemuan penting yang melibatkan pejabat tinggi dari Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Ukraina di Arab Saudi dinilai menegaskan aspirasi kerajaan untuk menjadi aktor global yang mampu memediasi konflik internasional secara efektif.
Pada Senin (10/3/2025) malam, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) menyambut kedatangan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Kota Jeddah. Kedatangan Zelenskyy terjadi dalam rangka pertemuan dengan pejabat senior AS, seminggu setelah Presiden Donald Trump mengkritik Zelenskyy secara terbuka karena dianggap "tidak tahu terima kasih" dalam pertemuan di Gedung Putih.
Arab Saudi juga berperan sebagai perantara dalam pertemuan langsung antara AS dan Rusia bulan lalu—yang merupakan dialog pertama antara kedua negara setelah invasi Rusia ke Ukraina. Lokasi pertemuan, yang diidentifikasi juru bicara Kremlin Dmitry Peskov sebagai tempat yang "secara umum cocok" untuk AS dan Rusia, dipandang sebagai kemenangan besar bagi MBS, sang pemimpin de facto Kerajaan Arab Saudi.
MBS tengah berusaha mengubah negaranya yang kaya minyak dan lekat dengan masa lalu fundamentalis menjadi negara yang mampu memanfaatkan kekayaannya untuk memperkuat pengaruh globalnya.
"Tidak ada tempat lain di mana seorang pemimpin memiliki hubungan pribadi yang begitu dekat dengan Trump dan Putin. Bagi Arab Saudi, peristiwa ini sangat prestisius dan semakin meningkatkan kekuatan lunak kerajaan di tingkat regional dan global," demikian menurut ahli Arab Saudi Ali Shihabi seperti dikutip dari CNN.
Perubahan kebijakan Arab Saudi yang mengarah pada netralitas dalam konflik-konflik global selama beberapa tahun terakhir merupakan bagian dari upaya kerajaan untuk menjauh dari perang dan lebih fokus menarik investasi miliaran dolar guna mewujudkan "Visi 2030"—rencana MBS untuk mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi yang terlalu bergantung pada minyak.
MBS telah menarik diri dari perang di Yaman setelah bertahun-tahun berkonflik dengan pemberontak Houthi yang didukung Iran, memperbaiki hubungan dengan rival regionalnya, Iran, serta menjalin hubungan erat dengan China dan Rusia, sambil tetap mempertahankan hubungan yang kuat dengan Barat.
Hubungan dengan Trump dan Putin
Selain menjadi tuan rumah berbagai acara internasional, seperti pertarungan tinju dan festival musik elektronik, Arab Saudi berupaya memproyeksikan citra sebagai penjaga perdamaian global. Arab Saudi telah menjadi tuan rumah sejumlah pertemuan donor bantuan dan konferensi perdamaian, seperti KTT Perdamaian Ukraina pada Agustus 2023 yang dihadiri oleh perwakilan lebih dari 40 negara (tidak termasuk Rusia), serta komitmen bantuan sebesar USD 400 juta untuk Ukraina pada Februari tahun yang sama.
Naiknya peran MBS sebagai pemimpin dalam diplomasi internasional diyakini tidak terlepas dari hubungan dekatnya dengan Trump.
Trump memberikan dukungan kuat kepada MBS ketika dia menghadapi kecaman internasional setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi oleh agen Arab Saudi pada 2018. Pada 2017, Trump memecah tradisi dengan memilih Arab Saudi sebagai negara pertama yang dia kunjungi dalam perjalanan internasional pertama sebagai presiden. Meskipun Trump kalah dalam Pilpres 2020, Arab Saudi tetap menjaga hubungan bisnis yang erat dengannya, termasuk berinvestasi USD 2 miliar di perusahaan yang dipimpin oleh menantu Trump, Jared Kushner.
Trump mengumumkan pada Jumat bahwa dia akan sekali lagi memilih Arab Saudi sebagai kunjungan luar negeri pertamanya sebagai presiden, menyusul janji kerajaan tersebut untuk menginvestasikan USD 1 triliun di perusahaan-perusahaan AS selama empat tahun.
Selain hubungan dekat dengan Trump, MBS juga memiliki hubungan yang hangat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Meskipun menghadapi tekanan internasional setelah pembunuhan Khashoggi, MBS menolak untuk menjauhkan diri dari Rusia dan terus berkoordinasi dengan Putin, terutama dalam mengatur pasokan minyak global. Pada 2023, Putin mengunjungi Arab Saudi dan mengundang negara itu untuk bergabung dengan BRICS.
Pendekatan Arab Saudi yang mengimbangi hubungan dengan kekuatan besar dunia ini terbukti menguntungkan. Arab Saudi berhasil memediasi pembebasan warga AS Mark Fogel dari tahanan Rusia bulan lalu dan juga berhasil memfasilitasi beberapa pertukaran tahanan antara Ukraina dan Rusia. Dalam pertemuan Rusia-AS bulan lalu, meskipun Ukraina tidak diikutsertakan, posisi Arab Saudi sebagai perantara menguat.
Tak Ada Negosiasi soal Palestina
Ke depan, Arab Saudi dinilai berpotensi memanfaatkan posisinya sebagai mediator dalam pertemuan Rusia-AS untuk menangani isu regional yang lebih mendesak—yakni usulan kontroversial Trump agar AS menguasai Jalur Gaza dan memindahkan penduduknya secara permanen.
Pada Februari, Trump mengusulkan untuk membawa perdamaian ke Timur Tengah dengan merancang pembangunan Gaza bergaya "Riviera" dan memindahkan lebih dari 2 juta penduduknya. Namun, ide ini ditolak keras oleh negara-negara Arab. Para pemimpin Arab pun berkumpul di Kairo untuk mendukung rencana rekonstruksi Jalur Gaza senilai USD 53 miliar, yang memastikan bahwa warga Palestina tetap tinggal di Jalur Gaza.
Menurut Hasan Alhasan, seorang rekan senior untuk kebijakan Timur Tengah di Bahrain, "Dengan memfasilitasi tujuan Presiden Trump untuk mengakhiri perang Ukraina, Arab Saudi berada dalam posisi yang baik untuk mendapatkan simpati di Washington. Kerajaan dapat memanfaatkan hubungan baik yang berkembang dengan pemerintahan Trump untuk menjembatani kesenjangan antara posisi AS dan Arab terkait nasib Gaza."
Dalam empat tahun mendatang, MBS dinilai mungkin akan mengandalkan hubungan eratnya dengan Trump. Namun, dia juga harus bijak dalam menyeimbangkan kepentingan regionalnya, terutama di tengah tuntutan keras dari presiden AS yang sangat transaksional.
Sementara Trump ingin melihat normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel, kemarahan yang semakin meningkat di Timur Tengah terkait agresi Israel di Jalur Gaza menjadi tantangan tersendiri. Bagi MBS, mempertahankan jalur menuju negara Palestina yang sah tetap menjadi prinsip yang tidak bisa dinegosiasikan.
Seperti yang dinyatakan oleh kerajaan dalam pernyataan awal bulan ini, "Mencapai perdamaian yang langgeng dan adil tidak mungkin tanpa rakyat Palestina memperoleh hak-hak sah mereka sesuai dengan resolusi internasional."