Liputan6.com, Washington, DC - Ahli menilai bahwa kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih akan berdampak sangat negatif pada tindakan penanggulangan perubahan iklim dalam jangka pendek, sementara dampak jangka panjangnya kurang pasti.
Saat para pemimpin dunia bersiap untuk pertemuan terbaru dalam pembicaraan iklim PBB, COP29, kemenangan Trump dipandang sebagai penghalang besar bagi kemajuan dalam mengurangi emisi dan meningkatkan pendanaan untuk negara-negara berkembang.
Trump dikenal sebagai seorang skeptis iklim yang menyebut upaya untuk meningkatkan energi hijau sebagai "penipuan".
Namun, di lain sisi, dengan energi terbarukan yang semakin kuat di Amerika Serikat (AS) dan dukungan besar masyarakat terhadap energi angin dan surya, upaya Trump untuk meningkatkan produksi minyak dan gas mungkin tidak akan seefektif yang diharapkan.
Meskipun perubahan iklim tidak terlalu berperan dalam kampanye Pilpres AS 2024, tindakan Trump saat menjabat pada 2025 bisa jauh lebih signifikan daripada masa jabatan pertamanya pada 2017-2020. Saat itu, dia mengumumkan AS menarik diri dari perjanjian iklim Paris, proses PBB yang paling penting untuk mengatasi perubahan iklim. Perjanjian tersebut membuat hampir semua negara di dunia - untuk pertama kalinya - setuju memangkas emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Teranyar, Trump telah mengatakan akan kembali menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris, setelah AS bergabung kembali saat Joe Biden menjabat pada tahun 2021.
Negosiator pemerintahan Biden sendiri dilaporkan akan hadir dalam COP29 di Azerbaijan pada 11-22 November, namun tidak ada yang mereka sepakati akan mengikat bagi pemerintahan Trump.
"AS di COP ini bukan hanya bebek lumpuh, tetapi bebek mati," kata Prof. Richard Klein, seorang ahli kebijakan perubahan iklim untuk Institut Lingkungan Stockholm seperti dilansir BBC, Jumat (8/11/2024).
"Mereka tidak dapat berkomitmen pada apa pun dan itu berarti negara-negara seperti China tidak akan mau berkomitmen pada apa pun."
Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara kaya seperti AS, Inggris, dan negara-negara Uni Eropa telah mencoba meningkatkan pendanaan bagi negara-negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, mereka bersikeras pula bahwa negara-negara berkembang yang besar juga harus berkontribusi.
"AS pada dasarnya ingin agar China mengeluarkan sejumlah uang. Sekarang mereka tidak akan mampu melakukannya. Itu membuat China lepas dari tanggung jawab," ujar Prof. Klein.
Ilmuwan iklim menuturkan negara berkembang memerlukan investasi miliaran dolar untuk mencapai net zero dan mengatasi dampak perubahan iklim. Langkah ini penting untuk mencegah kontribusi terhadap pemanasan global dan melindungi lingkungan dari kenaikan suhu.
Bila nantinya Trump benar-benar membawa AS keluar lagi dari perjanjian iklim Paris, pemerintahan Trump tetap terikat oleh upaya global lainnya untuk memerangi perubahan iklim, yakni UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), perjanjian yang mendasari tindakan kolektif global untuk mengatasi perubahan iklim.
UNFCCC diratifikasi oleh Senat AS hampir secara bulat pada tahun 1992, menunjukkan komitmen awal AS terhadap upaya internasional. Pakar hukum masih belum jelas tentang proses untuk keluar dari perjanjian ini.
Jika AS benar-benar memutuskan untuk meninggalkan UNFCCC, tindakan tersebut akan dianggap sebagai pukulan besar terhadap prinsip kerja sama multilateral dalam menghadapi ancaman terbesar dunia saat ini, yaitu perubahan iklim.
Langkah ini dapat menghambat kemajuan dalam menangani perubahan iklim dan mengurangi kepercayaan internasional terhadap komitmen AS dalam isu-isu global. Oleh karena itu, penting bagi pemerintahan Trump untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan semacam ini terhadap lingkungan dan posisi AS di panggung dunia.
Pemerintahan Trump yang baru diyakini akan mendorong peningkatan besar eksplorasi minyak dan gas di AS, mencabut perlindungan lingkungan, serta mengenakan tarif tinggi pada kendaraan listrik dan panel surya yang berasal dari China.
"Secara keseluruhan, Anda melihat filosofi 'drill baby drill'," kata Dan Eberhart, kepala eksekutif perusahaan jasa ladang minyak Canary LLC kepada Bloomberg News.
Dalam jangka panjang, belum jelas apakah Trump akan mengembalikan dominasi batu bara, minyak, dan gas, atau justru membatasi pertumbuhan sumber energi berkelanjutan. Langkah awal yang harus dihadapinya adalah perlawanan, termasuk dari dalam partainya sendiri.
Undang-undang Pengurangan Inflasi yang diusulkan oleh Biden, yang berpotensi mengarahkan pengeluaran hingga USD 1 triliun ke energi hijau, telah memberikan manfaat besar bagi distrik-distrik yang dikuasai Partai Republik. Berdasarkan satu analisis, sekitar 85 persen dari dana tersebut telah dialokasikan ke daerah-daerah yang memilih Partai Republik.
Lembaga pengawas energi, Badan Energi Internasional, melaporkan bahwa investasi global dalam teknologi bersih pada 2024 mencapai dua kali lipat dari investasi dalam batu bara, minyak, dan gas.
Bagaimanapun, jelas, pemerintahan baru Trump diharapkan tidak akan menganggu transisi menuju energi hijau.
Christiana Figueres, mantan kepala iklim PBB, menyatakan, hasil dari Pilpres AS 2024 merupakan pukulan besar bagi aksi iklim global.
"Namun, hal itu tidak dapat dan tidak akan menghentikan perubahan yang sedang berlangsung untuk mendekarbonisasi ekonomi dan memenuhi tujuan perjanjian iklim Paris," imbuhnya.