Liputan6.com, Naypyidaw - Pemerintah militer Myanmar pada Jumat (31/1/2025) mengumumkan perpanjangan status darurat selama enam bulan lagi untuk mempersiapkan pemilu yang dikatakan akan diadakan tahun ini. Negara itu memasuki tahun kelima krisis setelah kudeta militer menjatuhkan pemerintah terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Hingga saat ini, tidak ada tanggal pasti yang diumumkan untuk pemilu tersebut.
Militer Myanmar mendeklarasikan keadaan darurat pada 1 Februari 2021, di mana mereka menangkap Aung San Suu Kyi dan pejabat tinggi pemerintahannya serta mengambilalih kekuasaan. Peristiwa itu membalikkan kemajuan demokrasi yang telah tercapai pasca lima dekade pemerintahan junta militer sebelumnya.
Pengambilalihan itu memicu gerakan perlawanan bersenjata, dengan milisi etnis minoritas dan pasukan pembela rakyat yang mendukung oposisi utama Myanmar kini menguasai sebagian besar wilayah negara.
Pemerintah junta militer saat ini menghadapi tantangan terbesar sejak mengambil alih kekuasaan dan kini berada dalam posisi bertahan di banyak bagian negara. Namun, mereka masih dapat mempertahankan kendali atas sebagian besar Myanmar tengah dan kota besar, termasuk ibu kota Naypyidaw.
Televisi negara Myanmar MRTV melaporkan pada Jumat bahwa Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional memutuskan dengan suara bulat untuk memberikan perpanjangan status darurat setelah Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin junta militer, berargumen bahwa lebih banyak waktu diperlukan untuk mengembalikan stabilitas negara guna mengadakan pemilu nasional.
Dewan tersebut secara resmi diakui sebagai badan administratif yang konstitusional, namun kenyataannya dikendalikan oleh militer.
Berdasarkan konstitusi yang disusun junta militer pada tahun 2008, militer dapat memerintah negara di bawah status darurat selama satu tahun, diikuti dengan dua perpanjangan enam bulan yang memungkinkan sebelum pemilu diadakan. Namun, perpanjangan yang diumumkan pada Jumat adalah yang ketujuh. Demikian seperti dikutip dari AP, Sabtu (1/2).
Tom Andrews, seorang pelapor khusus dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB, mengatakan pada Kamis bahwa empat tahun penindasan militer, kekerasan, dan ketidakmampuan telah membawa Myanmar ke dalam jurang kehancuran. PBB memperkirakan lebih dari 3,5 juta orang telah mengungsi akibat konflik.
"Pasukan junta telah membunuh ribuan warga sipil, mengebom dan membakar desa-desa, membuat jutaan orang mengungsi. Lebih dari 20.000 tahanan politik masih dipenjara. Ekonomi dan layanan publik runtuh. Kelaparan dan kekurangan pangan mengancam banyak bagian dari populasi," kata Andrews.
Respons Oposisi soal Pemilu
Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, dan sejumlah negara lain bersama-sama mengutuk kekerasan yang dilakukan junta militer terhadap warga sipil dan pelanggaran hak-hak mereka.
Mereka menyatakan lebih dari sepertiga populasi, yaitu 19,9 juta orang, membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk bantuan pangan, dan hingga 3,5 juta orang mengungsi secara internal, yang merupakan peningkatan hampir 1 juta orang dalam setahun terakhir.
Pernyataan bersama yang menandai peringatan kudeta militer 2021 juga menyatakan keprihatinan atas meningkatnya kejahatan lintas batas di Myanmar, seperti perdagangan narkoba, perdagangan manusia, dan operasi penipuan daring, yang memengaruhi negara-negara tetangga dan berisiko menyebabkan ketidakstabilan lebih luas.
"Situasi saat ini tidak bisa dibiarkan berlanjut, baik untuk Myanmar maupun untuk kawasan ini," bunyi pernyataan bersana negara-negara tersebut, yang termasuk Australia, Kanada, Korea Selatan, Selandia Baru, Norwegia, dan Swiss.
Perpanjangan status darurat di Myanmar mengonsolidasikan semua kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif di bawah Min Aung Hlaing.
Menurut konstitusi, militer harus menyerahkan fungsi pemerintahan kepada presiden setidaknya enam bulan sebelum pemilu diadakan.
Militer awalnya mengatakan pemilu akan diadakan pada Agustus 2023, namun secara teratur menundanya. Baru-baru ini, mereka mengklaim pemilu akan dilaksanakan pada 2025.
Para kritikus berpendapat pemilu yang direncanakan tidak akan bebas dan adil karena tidak ada media yang bebas dan sebagian besar pemimpin dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi telah ditangkap. Rencana pemilu dipandang luas sebagai upaya untuk melegitimasi kekuasaan militer dengan menghasilkan hasil yang memastikan para jenderal tetap memegang kendali.
Moe Zaw Oo, seorang anggota Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dari pihak oposisi, menyatakan pada Rabu bahwa kelompok-kelompok oposisi sedang mempersiapkan cara-cara non-kekerasan untuk mencegah pemilu yang diadakan oleh militer.
"Tidak ada satu pun dari organisasi kami di pihak pasukan revolusioner yang akan menerima pemilu ilegal yang direncanakan oleh militer. Kami mungkin memiliki perbedaan pendapat mengenai masalah lain, namun posisi di antara pasukan revolusioner terkait masalah pemilu ini adalah bersatu dan jelas. Kami sama sekali tidak menerimanya," kata Moe Zaw Oo dalam konferensi pers daring.