Jelang Pilpres AS, Sekutu di Eropa Bersiap Masa Penuh Tantangan Era Presiden Baru

1 month ago 29

Liputan6.com, Washington, DC - Pilpres AS 2024 bakal digelar dalam hitungan hari. Jelang momen tersebut, para sekutu Amerika di Eropa pun bersiap-siap menghadapi Amerika yang tidak terlalu tertarik pada mereka.

Menurut laporan VOA Indonesia, Senin (4/11/2024), siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden, serta kombinasi trauma lama dan masalah baru jika Donald Trump yang kembali ke Gedung Putih tengah menjadi pertimbangan.

Pemilu AS terjadi lebih dari dua setengah tahun setelah invasi skala penuh Rusia ke Ukraina. Amerika Serikat diketahui telah memberikan kontribusi terbesar bagi pertahanan Ukraina. Namun, kini muncul sejumlah pertanyaan: apakah hal ini akan terus berlanjut di bawah kepemimpinan Trump, dan seberapa besar komitmennya terhadap sekutu-sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) secara umum.

Prediksi Jika Kamala Harris Menang

Rachel Tausendfreund di Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman mengatakan bahwa jika Wakil Presiden Kamala Harris memenangi pemilihan presiden, di satu sisi berarti kelanjutan kebijakan Biden.

"Ia (Kamala) telah menegaskan dalam semua pernyataannya bahwa ia menilai – secara strategis dan secara moral – merupakan hal yang penting bagi AS untuk terus mendukung upaya Ukraina. Meskipun demikian, kita melihat tentangan dari Partai Republik dan mulai meningkatnya kelelahan publik AS terhadap perang," kata Tausendfreund.

"Jadi kalau pun Kamala menang, ada sebagian hal yang tampaknya akan lebih sulit dalam satu atau satu setengah tahun ke depan.”

Belanja pertahanan Eropa yang lamban membuat kesal pemerintahan AS dari kedua partai selama bertahun-tahun, meskipun anggota NATO, termasuk Jerman, meningkatkan anggaran pertahanan mereka setelah Rusia berupaya menginvasi Ukraina pada 2022.

NATO memperkirakan 23 dari 32 negara sekutu akan memenuhi targetnya untuk mengalokasikan 2 persen atau lebih dari produk domestik bruto mereka untuk pertahanan tahun ini. Satu dekade yang lalu, hanya tiga negara yang mencapai target itu.

Sementara itu, selama masa jabatannya pada 2017-2021, Donald Trump mengancam akan meninggalkan negara-negara yang menunggak jika tidak membayar tagihan mereka. Dalam kampanye kali ini, dia menyarankan agar Rusia melakukan apa yang diinginkannya terhadap mereka. Gertakan Trump itu telah merusak kepercayaan dan mengkhawatirkan negara-negara yang terletak paling dekat dengan Rusia, yang semakin tidak dapat diprediksi, seperti Estonia, Latvia, Lithuania, dan Polandia.

Negara-negara Eropa melihat perang di Ukraina sebagai tantangan eksistensial, yang pada akhirnya mungkin tidak akan dihadapi oleh Amerika, apalagi dengan adanya tanda-tanda kelelahan perang di Eropa sendiri.

Rachel Tausendfreund dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman mengatakan jika Trump menang, ada indikasi bahwa ia tidak tertarik untuk mendukung Ukraina dalam perang itu.

Menurut Tausendfreund, Trump juga diperkirakan akan mendorong dengan cepat gencatan senjata atau negosiasi perdamaian, yang akan menghasilkan perdamaian yang mungkin tidak disukai oleh Ukraina dan Eropa.

"Jadi ini situasi yang cukup dramatis. Dan juga tidak mungkin Eropa dapat mengisi kekosongan militer yang ditinggalkan jika AS menarik dukungannya," kata Tausendfreund.

Keinginan Trump untuk memberlakukan tarif terhadap mitra-mitra AS juga menimbulkan kekhawatiran di Eropa, yang masih berjuang keras mengatasi pertumbuhan ekonomi yang lesu. Meskipun sebagian pemimpin Eropa menyadari bahwa bukan hanya kemungkinan kepresidenan Trump kedua yang membuat mereka cemas, tetapi juga perubahan prioritas Amerika, siapapun yang menang nanti. Timur Tengah berada di urutan teratas dalam daftar Presiden Joe Biden saat ini, tetapi prioritas jangka panjangnya adalah China.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |