Israel Peringatkan Iran Usai Muncul Wacana Perubahan Doktrin Nuklir

3 weeks ago 24

Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan pada hari Kamis (28 November) bahwa Israel akan melakukan "segala upaya" untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir, setelah diplomat senior Iran memperingatkan bahwa negaranya mungkin akan mengakhiri larangan pengembangan senjata nuklir jika sanksi Barat diterapkan kembali. 

Perang kata yang kembali memanas antara kedua musuh di Timur Tengah ini terjadi saat Iran bersiap mengadakan pembicaraan nuklir penting dengan negara-negara Eropa pada hari Jumat (29/11).

"Saya akan melakukan segala hal untuk mencegah Iran menjadi negara nuklir, saya akan menggunakan semua sumber daya yang bisa digunakan," kata Netanyahu dalam wawancara dengan Channel 14 Israel seperti dikutip dari CNA.

Israel adalah satu-satunya negara di kawasan ini yang memiliki senjata nuklir, meskipun tidak mengungkapkan statusnya tersebut secara terang-terangan. Israel telah lama menjadikan pencegahan negara lain memperoleh senjata nuklir sebagai prioritas utama pertahanannya.

Netanyahu menyatakan pada hari Selasa (26/11) bahwa gencatan senjata yang mulai berlaku di Lebanon pada hari berikutnya akan memberi Israel kesempatan untuk fokus pada Iran. Dia tidak merinci tindakan yang dimaksud.

Iran telah meluncurkan dua serangan rudal ke Israel sepanjang tahun lalu sebagai balasan atas pembunuhan pemimpin Hamas dan Hizbullah, serta seorang jenderal Iran.

Israel menanggapi kedua serangan itu dengan serangan terbatas terhadap Iran dan yang terbaru adalah dengan mengebom beberapa lokasi militer pada 26 Oktober.

Iran Pertimbangkan Mengubah Doktrin Nuklir

Iran bersikeras bahwa mereka berhak mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai, namun menurut Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Iran adalah satu-satunya negara non-nuklir yang mengolah uranium hingga 60 persen.

Dalam wawancara dengan surat kabar The Guardian, yang diterbitkan menjelang pembicaraan Iran dengan Inggris, Prancis, dan Jerman, Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi memperingatkan bahwa kekecewaan di Teheran atas komitmen yang belum dipenuhi, seperti pencabutan sanksi, telah memicu perdebatan apakah Iran perlu mengubah doktrin nuklirnya.

"Kami tidak berniat untuk mengolah lebih dari 60 persen untuk saat ini dan ini adalah tekad kami sekarang," kata dia.

Namun, dia menambahkan, "Ada perdebatan di Iran, terutama di kalangan elite, apakah kita harus mengubah doktrin nuklir kita karena sejauh ini, doktrin itu terbukti tidak cukup dalam praktiknya."

Kesepakatan nuklir 2015 antara Tehran dan negara-negara besar bertujuan untuk memberi Iran keringanan dari sanksi Barat sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya untuk mencegah pengembangan kemampuan senjata nuklir.

Teheran secara konsisten membantah memiliki ambisi semacam itu. Pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei, yang memiliki kewenangan final dalam pembuatan keputusan di Iran, telah mengeluarkan fatwa agama yang melarang senjata nuklir.

Kesiapan Teheran untuk duduk bersama dengan ketiga pemerintah Eropa pada Jumat datang hanya beberapa pekan sebelum Donald Trump kembali ke Gedung Putih.

Selama masa pemerintahannya yang pertama, Trump memfokuskan diri untuk memberlakukan kembali sanksi berat terhadap Iran setelah Amerika Serikat (AS) menarik diri secara sepihak dari kesepakatan 2015, tiga tahun setelah disepakati.

Sebagai balasan atas penarikan diri AS, Teheran mengurangi kepatuhannya terhadap kesepakatan tersebut dengan meningkatkan tingkat pengayaan uraniumnya hingga 60 persen, mendekati 90 persen yang dibutuhkan untuk bom nuklir.

Pembicaraan Nuklir dengan Eropa dan Tantangan yang Dihadapi Iran

Dalam kesepakatan 2015 - yang akan berakhir pada Oktober 2025 - pengayaan uranium Iran dibatasi hingga 3,67 persen.

Diplomat Iran Majid Takht-Ravanchi, yang menjabat sebagai wakil politik Araghchi, dijadwalkan untuk mewakili Iran dalam pembicaraan pada Jumat.

Pada Kamis, dia dan wakil menteri luar negeri untuk urusan hukum dan internasional Kazem Gharibabadi bertemu dengan Enrique Mora, wakil sekretaris jenderal untuk urusan luar negeri Uni Eropa.

Mora mengatakan di X bahwa mereka mengadakan pertukaran terbuka mengenai dukungan militer Iran untuk Rusia yang harus dihentikan, masalah nuklir yang memerlukan solusi diplomatik, ketegangan regional (yang penting untuk dihindari agar tidak terjadi eskalasi lebih lanjut dari semua pihak), dan hak asasi manusia.

Pekan lalu, dewan gubernur IAEA yang terdiri dari 35 negara mengadopsi resolusi yang diusulkan oleh Inggris, Prancis, Jerman, dan AS yang mengutuk Iran karena kurangnya kerja sama dalam masalah nuklir.

Iran menggambarkan langkah tersebut "bermotif politik" dan sebagai respons mengumumkan peluncuran "sentrifugal canggih baru" yang dirancang untuk meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya.

Menurut analis politik Mostafa Shirmohammadi, bagi Teheran, tujuan dari pembicaraan Jumat ini adalah untuk menghindari skenario "bencana ganda", di mana Iran akan menghadapi tekanan baru dari Trump dan pemerintah Eropa.

Dia mencatat bahwa dukungan terhadap Iran di antara negara-negara Eropa telah tergerus akibat tuduhan Iran memberikan bantuan militer untuk invasi Rusia ke Ukraina.

Iran membantah tuduhan itu dan berharap dapat memperbaiki hubungan dengan Eropa, sementara tetap mempertahankan sikap tegasnya.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |