Liputan6.com, Teheran - Dewan Keamanan Nasional Iran menangguhkan penerapan rancangan undang-undang kontroversial "hijab dan kesucian", yang seharusnya mulai berlaku pada hari Jumat (13/12/2024).
Presiden Massoud Pezeshkian menyebut rancangan undang-undang tersebut "tidak jelas dan perlu diperbaiki". Demikian seperti dikutip dari BBC, Selasa (17/12).
Rancangan undang-undang ini menargetkan perempuan yang membiarkan rambut, lengan bawah, atau kaki bagian bawah mereka terlihat.
Aturan berpakaian yang ketat untuk perempuan, yang selama beberapa dekade dianggap sebagai prioritas keamanan nasional oleh penguasa Republik Islam Iran, sebelumnya telah memicu protes.
Menurut rancangan undang-undang baru ini, pelanggar yang berulang dan siapa saja yang menghina aturan akan dikenakan denda dan hukuman penjara hingga 15 tahun. Bisnis juga diwajibkan melaporkan siapa saja yang melanggar aturan tersebut.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menyuarakan kekhawatiran mereka. Amnesty International mengatakan otoritas Iran "berusaha mengukuhkan sistem penindasan yang sudah sangat mengekang".
Selama pemilu presiden pada bulan Juli, Pezeshkian, secara terbuka mengkritik perlakuan terhadap perempuan Iran terkait masalah hijab.
Dia berjanji tidak akan campur tangan dalam kehidupan pribadi mereka, sebuah sikap yang diterima dengan baik oleh banyak orang Iran, terutama generasi muda yang merasa frustrasi dengan kontrol ketat pemerintah.
Masoumeh Ebtekar, mantan wakil presiden untuk urusan perempuan dan keluarga, juga mengkritik rancangan undang-undang hijab, dengan mengatakan, "Ini adalah penindasan terhadap separuh populasi Iran."
Perdebatan mengenai hijab semakin memanas minggu lalu ketika Parastoo Ahmadi, seorang penyanyi terkenal Iran, ditangkap setelah menyiarkan konser virtual di YouTube tanpa mengenakan hijab.
Konser tersebut dengan cepat menjadi viral dan penangkapan Ahmadi beserta bandnya memicu kemarahan luas. Menghadapi protes publik, pihak berwenang membebaskan mereka keesokan harinya.
Pro dan Kontra
Ketegangan mengenai hijab tetap tinggi sejak protes besar-besaran pada 2022 yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini, seorang perempuan yang meninggal dalam tahanan polisi setelah ditangkap karena diduga melanggar aturan berpakaian.
Selama dua tahun terakhir, banyak perempuan muda Iran dengan berani melepas hijab mereka di tempat umum, menantang otoritas pemerintah.
Pekan lalu, lebih dari 300 aktivis hak asasi manusia, penulis, dan jurnalis Iran secara terbuka mengutuk rancangan undang-undang hijab baru ini, menyebutnya "tidak sah dan tidak dapat diterapkan" serta mendesak Pezeshkian menghormati janji kampanyenya.
Pendukung Pezeshkian percaya bahwa undang-undang hijab baru ini tidak akan berhasil menghalangi perempuan muda untuk menentangnya, bahkan bisa memperburuk situasi.
Namun, para pendukung undang-undang ini mendesak presiden untuk segera melanjutkan penerapannya, mengkritik keragu-raguan Dewan Keamanan Nasional, dan mendesak agar dia menandatangani rancangan undang-undang tersebut agar bisa segera diterapkan.Keputusan untuk menunda penerapan rancangan undang-undang hijab dinilai menunjukkan kekhawatiran pemerintah soal gelombang protes besar lainnya, seperti yang terjadi dua tahun lalu.
Mengutip Iran International, Ketua Parlemen Iran Mohammad Bagher Ghalibaf, yang merupakan seorang tokoh garis keras dan mantan komandan senior Pasukan Pengawal Revolusi, mengatakan penegakan undang-undang ini akan menghindari konfrontasi langsung dengan perempuan.
"Jika ada tindakan membuka hijab, pesan teks akan dikirim terlebih dahulu sebagai peringatan, diikuti dengan peringatan kedua. Meskipun denda untuk pelanggaran pertama tercatat, denda itu tidak langsung diberlakukan. Namun, jika pelanggaran tersebut terulang, denda kedua akan diterapkan," tambahnya.
Patroli hijab telah dihapus dan ketentuan-ketentuan dalam rancangan undang-undang, menurut Ghalibaf, telah "dijelaskan dengan transparan dan mendetail".