, Jakarta - Indonesia menjadi negara dengan kasus keracunan metanol terbanyak setiap tahunnya, menurut data dari MSF atau Doctors Without Borders. Demikian menurut data dari Médecins Sans Frontières yang dikutip dari ABC Indonesia, Minggu (8/12/2024).
Data tersebut memeringkat Indonesia di posisi teratas dengan 329 insiden keracunan metanol, disusul India 125 kasus, Rusia 117 kasus, Pakistan 38 kasus dan Bangladesh 34 kasus.
Meskipun sebagian besar warga Indonesia tidak minum alkohol karena alasan agama, beberapa kelompok masyakat tertentu mengonsumsi alkohol sebagai bagian dari tradisi adat mereka.
Di Indonesia, keracunan metanol kebanyakan disebabkan karena minuman keras yang ditambahkan kandungan lain atau dikenal dengan istilah oplosan, termasuk yang ditemukan di sejumlah minuman arak.
Ady Wirawan adalah pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Udayana, yang sudah melakukan penelitian tentang keracunan metanol di Bali.
Ia mengatakan tidak semua proses produksi alkohol lokal di Indonesia memiliki standar, sehingga ada beberapa yang memproduksi metanol ketimbang etanol.
"Peraturan yang lemah dan pengawasan yang minim terhadap produksi dan distribusi alkohol ilegal membuat praktik ini terus berlanjut," katanya.
"Harga alkohol legal yang tinggi membuat konsumen mencari alternatif yang lebih murah, meski ada risikonya."
Dokter Adi menambahkan banyak konsumen tidak menyadari kalau minuman keras yang dibuat rumahan dapat mengandung zat berbahaya.
Namun stigma soal konsumsi alkohol menjadi masalah lainnya.
"Di beberapa daerah, konsumsi alkohol dianggap tabu, membuat korban keracunan enggan mencari pertolongan medis atau melaporkan kasus mereka," katanya.
Sementara dampak psikologis dari metanol menjadi perhatian Dr Elvine Gunawan, seorang psikiater dari Mental Hub Indonesia.
Salah satu pasiennya adalah satu-satunya yang selamat dalam kasus keracunan metanol yang merenggut nyawa empat orang lainnya.
"Mereka merasa bersalah karena tidak dapat menyelamatkan teman yang meninggal tepat di depan mata mereka," kata Dr Elvine. Ia mengatakan pasiennya mengalami kebutaan akibat keracunan metanol, tapi juga mengalami pelecehan oleh warga di sekitarnya.
Menurut Dr Elvine, pasiennya tersebut merasa kalau dirinya memang pantas mengalami kebutaan, atau harusnya meninggal bersama teman-temannya, dan kini sudah berhenti mencari perawatan kesehatan mental.
Stigma Konsumsi Alkohol
Dr Ady mengatakan stigma orang yang meminum alkohol menjadi penghambat saat ada orang yang keracunan metanol untuk mendapat bantuan pengobatan.
"Idealnya kita bisa langsung merawatnya untuk observasi, tetapi mereka malah menutupinya karena malu," katanya.
Ironisnya, salah satu perawatan intervensi dini untuk keracunan metanol adalah dengan memberikan etanol, jenis alkohol yang aman untuk diminum, menurut Dr. David Ranson, seorang profesor kedokteran forensik di Monash University.
Ia mengatakan metanol menjadi masalah ketika tubuh mulai mengurai kandungan tersebut.
Metanol terurai menjadi bahan kimia berbahaya, formaldehida, yang digunakan dalam proses pembalsaman, serta asam format, yang "pada dasarnya membunuh sel".
"Ini adalah sel racun, yang mengganggu produksi energi sel, sehingga sel menjadi mati."Dokter David mengatakan karena tubuh memprioritaskan etanol untuk diproses, memasukkan lebih banyak etanol ke dalam tubuh bisa membantu menahan metanol dan menghentikan penguraiannya sebelum dikeluarkan dari tubuh.
Perawatan lainnya termasuk memberikan penawar racun fomepizole, yang lebih mahal dan tidak tersedia di beberapa negara, dan proses dialisis yang menyaring darah.
Meski di tahun 2018, Majelis Ulama Indonesia memutuskan praktisi medis dapat menggunakan etanol untuk menyelamatkan nyawa, seperti keracunan metanol, tapi penerapannya bergantung pada keyakinan masing-masing dokter.
"Karena bukan untuk penggunaan yang berdosa dan sebaliknya malah untuk menyelamatkan nyawa, itu diperbolehkan. Tetapi sekali lagi, itu kembali pada nilai-nilai etika dokter," kata Dr Ady.
ABC telah menghubungi Kementerian Kesehatan Indonesia untuk memberikan komentar.
Jadi Masalah di Negara Asia Tenggara Lainnya
Neang Keo sedang bekerja sebagai pembersih di sebuah kasino di kota pesisir Sihanoukville, Kamboja, ketika mendapat kabar kalau suaminya muntah darah.
Suaminya, Ngoem Phea, berada di provinsi Takeo, tempat mereka berasal yang berjarak lebih dari 200 kilometer dan diketahui baru saja meminum 'wine' dari beras bersama teman-temannya.
"Saya sangat panik dan menangis," kata Neang.
"Saya pulang sekitar dua atau tiga jam kemudian, tetapi ia meninggal sebelum saya sampai."'Wine' beras tersebut diketahui terkontaminasi dengan metanol yang mematikan.
Ngoem, usia 53 tahun, dan dua orang temannya meninggal, sementara tiga orang lainnya dirawat di rumah sakit.
Bahaya tersembunyi dari metanol tetap menjadi masalah di negara-negara seperti Kamboja.
'Wine' dari beras yang dibuat rumahan biasa disajikan dalam acara pernikahan, pemakaman, dan hari raya kegamaan.
Setelah sejumlah kasus fatal pada tahun 2021, otoritas Kamboja mengatakan mereka mengambil langkah-langkah untuk memeranginya, termasuk menangkap pembuat bir ilegal dan menutup tempat pembuatan yang meragukan, serta larangan sementara terhadap produksi dan penjualan 'wine' dari bahan herbal dan beras di wilayah tertentu.
Dokter Knut mengatakan perlu ada kesadaran soal masalah ini, karena gejalanya dapat dengan mudah disalahartikan sebagai mabuk atau kondisi lainnya.
"Insiden baru-baru ini merupakan insiden tragis bagi banyak keluarga di seluruh dunia, mengingatkan betapa rentannya kita semua terhadap zat beracun, bahkan dalam jumlah kecil."
Dari perkembangan kasus keracunan metanol di Laos, tiga pekerja Nana Backpackers Hostel, yakni dua warga India, usia 24 dan 30 tahun, seorang perempuan Filipina berusia 35 tahun sudah ditangkap.
Sebelumnya polisi Laos sudah menangkap delapan pekerja hostel lainnya, meski pemilik hostel yang sudah menjalankan usahanya selama 11 tahun mengaku jika pihaknya tidak meracuni minuman alkohol tersebut.
Sebuah dokumen dari Kementerian Kesehatan Laos yang didapatkan ABC menyebutkan sumber dari keracunan metanol berasal dari sebuah tempat pembuatan vodka dan whisky, yang berada di luar kota Vientiane.
Sementara itu, pemerintah Laos sudah melarang penjualan dan konsumsi minuman Tiger Vodka dan Tiger Whisky.
Kasus Terbaru yang Jadi Sorotan
Kasus enam turis di Laos yang meninggal dunia, termasuk dua remaja asal Australia, akibat keracunan kandungan metanol dalam minuman alkohol menjadi perhatian dunia.
Metanol seringkali ditambahkan ke minuman beralkohol dengan anggapan yang salah, yakni sebagai cara murah untuk meningkatkan kadar alkohol.
Proses penyulingan yang buruk bisa menghasilkan alkohol yang tercemar metanol, meskipun jumlahnya sangat sedikit.
Dua sendok teh saja dapat menyebabkan kebutaan dan 30 mililiter dapat berakibat fatal.
Keracunan metanol bukan hanya dialami turis di negara-negara Asia Tenggara, tapi dialami banyak warga lokal yang jarang mendapat perhatian media internasional.
"Penduduk setempat lebih sering menjadi korban, meski kasus mereka jarang menjadi berita utama," kata Dr Knut Erik Hovda, seorang pakar wabah metanol global dari Oslo University Hospital.
"Itulah sebabnya kami menyebutnya krisis yang terlupakan, yang paling sering memengaruhi orang-orang termiskin, tapi.. tak ada perkecualian."
Sebuah upaya bernama Methanol Poisioning Initiative dilakukan dengan kolaborasi antara Oslo University Hospital dan Médecins Sans Frontières (MSF) untuk melacak kasus keracunan metanol di seluruh dunia berdasarkan laporan media lokal.
Ditemukan ada 58 insiden keracunan metanol di seluruh dunia dalam 12 bulan terakhir, yang dialami 1.200 orang dan mengakibatkan lebih dari 400 kematian.
Namun, Dr Knut mengatakan tidak diketahui seberapa besar sebenarnya masalah ini. "Kami khawatir kalau yang kita lihat hanya puncak gunung es," katanya.