Liputan6.com, Riyadh - Sebuah kota berbenteng berusia 4.000 tahun ditemukan tersembunyi di sebuah oasis di Arab Saudi. Belakangan para ilmuwan mengungkap bahwa hal itu menyingkap suatu bentuk kehidupan di masa lalu.
Para arkeolog mengatakan pada hari Rabu (30/10) bahwa penemuan kota berbenteng berusia 4.000 tahun yang tersembunyi di sebuah oasis di Arab Saudi modern mengungkap bagaimana kehidupan pada saat itu, perlahan berubah dari nomaden menjadi kehidupan perkotaan.
Sisa-sisa kota, yang dijuluki al-Natah, telah lama tersembunyi oleh oasis bertembok Khaybar, bintik hijau dan subur yang dikelilingi oleh gurun di barat laut Jazirah Arab.
Menurut penelitian yang dipimpin oleh arkeolog Prancis Guillaume Charloux yang diterbitkan awal tahun ini, tembok kuno sepanjang 14,5 kilometer ditemukan di situs tersebut.
Untuk sebuah studi baru yang diterbitkan dalam jurnal PLOS One, tim peneliti Prancis-Saudi telah memberikan "bukti bahwa benteng-benteng ini diatur di sekitar habitat", kata Charloux kepada AFP yang dikutip Minggu (3/11/2024).
"Kota besar yang dihuni hingga 500 penduduk itu dibangun sekitar 2.400 SM selama awal Zaman Perunggu," kata para peneliti.
"Kota itu ditinggalkan sekitar seribu tahun kemudian. Tidak seorang pun tahu mengapa," kata Charloux.
Ketika al-Natah dibangun, kota-kota berkembang pesat di wilayah Levant di sepanjang Laut Mediterania dari Suriah saat ini hingga Yordania.
Saudi Arabia Barat Laut pada saat itu diperkirakan berupa gurun tandus, dilintasi oleh para pengembara penggembala dan dipenuhi dengan situs pemakaman. Sampai dengan 15 tahun yang lalu, ketika para arkeolog menemukan benteng yang berasal dari Zaman Perunggu di oasis Tayma, di utara Khaybar.
"Penemuan penting pertama ini membuat para ilmuwan mengamati oasis-oasis ini lebih dekat," kata Charloux.
Perkotaan yang Lambat
Batuan vulkanik hitam yang disebut basal menutupi dinding al-Natah dengan sangat baik sehingga "melindungi situs tersebut dari penggalian ilegal", kata Charloux.
Mengamati situs tersebut dari atas, kata peneliti, mengungkap jalur potensial dan fondasi rumah yang menunjukkan lokasi penggalian yang perlu dilakukan para arkeolog.
"Mereka menemukan fondasi yang cukup kuat untuk menopang rumah setidaknya satu atau dua lantai", kata Charloux, seraya menekankan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memahami situs tersebut.
Kendati demikian temuan awal mereka menggambarkan kota seluas 2,6 hektar dengan sekitar 50 rumah yang bertengger di atas bukit, dilengkapi dengan temboknya sendiri.
Makam-makam di dalam pekuburan di sana berisi senjata logam seperti kapak dan belati serta batu seperti batu akik, yang menunjukkan masyarakat yang relatif maju sejak lama.
Potongan-potongan tembikar "menunjukkan masyarakat yang relatif egaliter", kata penelitian tersebut. Tembikar-tembikar itu "sangat cantik tetapi sangat sederhana", imbuh Charloux.
Ukuran benteng pertahanan – yang tingginya bisa mencapai sekitar lima meter (16 kaki) – menunjukkan bahwa al-Natah merupakan tempat kedudukan semacam otoritas lokal yang kuat.
Penemuan-penemuan ini mengungkap proses "urbanisme lambat" selama transisi antara kehidupan desa nomaden dan kehidupan desa yang lebih mapan, kata penelitian tersebut.
Misalnya, oasis berbenteng bisa saja saling berhubungan di daerah yang sebagian besar masih dihuni oleh kelompok nomaden pastoral. Pertukaran semacam itu bahkan bisa saja menjadi dasar bagi "rute kemenyan" yang memperdagangkan rempah-rempah, kemenyan, dan mur dari Arabia selatan ke Mediterania.
Al-Natah masih kecil dibandingkan dengan kota-kota di Mesopotamia atau Mesir selama periode tersebut.
"Namun di hamparan gurun yang luas ini, tampaknya ada jalur lain menuju urbanisasi" selain negara-kota seperti itu, yang "lebih sederhana, jauh lebih lambat, dan cukup spesifik di wilayah barat laut Arabia", kata Charloux.