Diaspora Indonesia Cerita soal Hidup Sebagai Muslim di AS, Termasuk Restu Tetangga untuk Gelar Pengajian

1 week ago 15

Liputan6.com, Washington, DC - Hidup di negeri orang, terlebih sebagai minoritas, jelas bukan hal mudah untuk dilakoni. Kemampuan beradaptasi diuji.

Dan selama kurang lebih 18 tahun, Vonny Yunistia, diaspora Indonesia yang menetap di Kota Cumming, Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat (AS), bersama suami dan anak-anaknya berhasil melalui ujian tersebut.

Sepanjang hidupnya di AS, Vonny mengaku menyaksikan pesatnya perkembangan komunitas Asia dan muslim.

"Dulu, saat aku baru datang ke AS kalau belanja bulanan, barang-barang Asia susah dicari. Terus, cari masjid juga susah karena tidak banyak. Tapi, sekarang sudah banyak banget Asian store, bahkan di supermarket biasa bisa juga menemukan barang Asia, seperti Indomie. Masjid juga sekarang banyak banget. Dulu, kalau mau ke masjid harus naik mobil selama setengah jam. Kalau sekarang masjid cuma berjarak 10 menit dari rumah," terang Vonny kepada Liputan6.com, Kamis (12/12/2024).

Restoran dan bahan makanan halal, sebut Vonny, juga sudah sangat mudah ditemukan.

Adaptasi dan berbaur dengan masyarakat setempat diakui Vonny menjadi dua hal penting yang harus dilakukannya sebagai muslim asal Asia. Dia pun bersyukur karena takdir membawanya berinteraksi dengan orang-orang yang ramah dan tidak pernah mengalami diskriminasi.

"Komunitas muslim di sini kuat dan bagus. Di sini, kita diberi kebebasan untuk beragama. Selama di AS, alhamdulillah aku belum pernah berhadapan dengan situasi di mana aku disusahkan untuk beribadah. Bahkan, kalau ada pengajian di rumahku dan ramai, aku izin ke tetanggaku kalau banyak mobil dan mereka mengerti," ujar ibu dua anak ini.

Di sekolah, anak-anak Vonny tidak pernah mengalami masalah meskipun sang putri memakai jilbab.

"Anakku yang cowok itu berteman dengan bule semua. Saat dia salat di rumah temannya, dia diberi tempat yang nyaman dan bersih. Mereka juga kadang mengingatkan," kata Vonny.

Menjalani kehidupan yang jauh dari keluarga, Vonny menjaga hubungan dekat dengan teman-temannya, baik sesama diaspora Indonesia maupun yang berasal dari negara lain.

"(Diaspora Indonesia) kan tidak punya keluarga di sini, jadi teman itu sudah seperti keluarga, lebih intim," ujar perempuan berusia 49 tahun tersebut.

"Aku juga punya banyak teman dari negara lain, itu lah kelebihannya di sini. Temanku beragam, ada yang dari Maroko, Uzbekistan, Rusia, Jepang, dan sebagainya. Dan kalau aku ke masjid, umat muslim dari berbagai negara itu berkumpul, jadi indah sekali."

Melihat perjalanan hidupnya sebagai diaspora di AS, Vonny merasa banyak pelajaran berharga yang dia dapatkan.

"Banyak ilmu yang bisa didapat di sini ... Bukan secara akademis, tetapi kita belajar pengalaman dan pelajaran hidup dari teman-teman di sini," ungkap Vonny.

Hikmah Sering Pindah Tempat Tinggal

Vonny pindah ke AS pada tahun 2006. Sejak saat itu, dia telah merasakan hidup di empat negara bagian AS.

"Aku sudah tinggal di empat negara bagian sejauh ini. Awalnya di New Jersey. Lalu pindah ke Virginia dan lanjut ke Texas. Sejak 2017, aku tinggal di Georgia, jadi sudah tujuh tahun di sini," cerita Vonny.

Vonny dan keluarganya sering berpindah tempat tinggal karena pekerjaan suaminya sebagai insinyur telekomunikasi.

"Masing-masing negara bagian (di AS) punya kebiasaan, aksen, dan watak yang berbeda. Misalnya, di wilayah selatan orang-orangnya lebih sopan, sedangkan di wilayah utara cenderung lebih dingin dan tidak terlalu ramah," jelas Vonny.

Dari keempat negara bagian yang pernah dia tinggali, Vonny sangat menyukai Texas.

"Di Texas, orang-orangnya sangat ramah, terasa banget southern hospitality-nya. Mereka akan langsung membantu kalau melihat kita kesulitan. Tapi, Texas panas banget di musim panas, seperti di Arab," ungkap Vonny.

Sebagai seseorang yang hobi traveling, Vonny dan keluarganya juga telah mengunjungi berbagai wilayah di AS, selain kota-kota tempat mereka tinggal.

"Negara bagian yang aku suka banget pemandangannya adalah Colorado. Kalau untuk suasana perkotaan yang bersih dengan arsitektur yang cakep, aku suka Chicago, downtown Chicago itu cakep banget. Nah, yang paling aku nggak suka itu New York. New York itu ramai, macet, bau, pokoknya padat banget," ujarnya.

Meskipun berpindah-pindah tempat tinggal bukan perkara mudah, Vonny memilih melihatnya dari sisi positif.

"Tentu pindah-pindah itu capek dan harus beradaptasi lagi. Anak-anak juga harus mencari teman-teman baru. Tapi, ternyata, sekarang, di Georgia, kita baru merasakan hikmahnya karena kita jadi banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan. Yang paling penting, kita jadi banyak teman yang dekat seperti keluarga," ungkap Vonny.

Sistem Pendidikan yang Menguntungkan

Vonny merasa sangat beruntung tinggal di Georgia, terutama karena sistem pendidikannya yang gratis dengan fasilitas yang luar biasa. Dia juga merasa terbantu dengan program beasiswa yang ada di negara bagian ini.

"Kelebihan dari Georgia itu, sekolahnya bagus-bagus. Terus, negara bagian ini punya program bagi semua anak yang lulus sekolah menengah untuk otomatis bisa mendapatkan beasiswa, tergantung dengan nilainya. Jadi, kalau GPA (Grade Point Average)-nya bagus, bisa dapat beasiswa full di universitas tanpa harus bayar apa-apa," ungkap Vonny, yang putrinya merupakan penerima beasiswa tersebut.

Anak perempuan Vonny yang kini mengambil program teknik sipil di Georgia Institute of Technology (Georgia Tech) akan segera wisuda.

"Universitasnya Georgia bagus-bagus. Georgia Tech itu engineering-nya nomor satu di AS," tutur Vonny.

Anak kedua Vonny lahir di AS saat ini masih duduk di bangku sekolah menengah. Sebagai seorang ibu, dia sangat mengapresiasi sistem pendidikan di AS.

"Sekolah itu benar-benar gratis dan fasilitasnya keren banget. Di sini, setiap sekolahnya punya lapangan football sendiri, punya lapangan tenis sendiri, fasilitasnya bagus, dan bersih. Kita nggak perlu bayar, bahkan bus sekolah dan buku pelajaran juga disediakan. Jadi, kita sebagai orang tua nggak pusing," ujarnya.

Meskipun sering berpindah tempat tinggal, Vonny tidak merasa repot dengan proses pindah sekolah anak-anaknya.

"Di sini, sistem antar sekolah sudah terintegrasi dengan baik. Waktu anak-anak sering pindah sekolah, prosesnya nggak ribet karena data mereka sudah tercatat dengan mudah," jelasnya.

Pengalaman Memiliki Restoran Indonesia

Vonny yang sekarang bekerja sebagai quality assurance engineer sempat memiliki restoran Indonesia bernama "Tempo Doeloe" pada 2017. Sayang, restoran tersebut terpaksa tutup pada awal 2020 akibat pandemi COVID-19.

"Aku sempat punya restoran di sini, tapi tutup awal 2020 gara-gara COVID-19. Waktu buka, sempat ramai, sampai masuk TV juga," kisah Vonny.

"Kita buka restoran karena aku dan suami senang masak dan kuliner. Terus, saat itu, kita mau mengenalkan masakan Indonesia karena tetangga-tetangga kita suka banget sama masakan kita."

Vonny ingin memanfaatkan restorannya saat itu tidak hanya untuk memperkenalkan budaya Indonesia, namun juga Islam. 

"Kalau pelanggan datang, aku selalu menyapa mereka dan mengajak ngobrol. Banyak yang datang hanya untuk makan sedikit, tapi lebih banyak ngobrol karena merasa nyaman seperti di rumah," ungkap Vonny.Walau kini masih semangat memasak dan mengenalkan budaya Indonesia, Vonny belum berencana untuk membuka usaha baru.

Read Entire Article
Opini Umum | Inspirasi Hidup | Global |