Liputan6.com, Kabul - Sebuah film dokumenter mengulas tentang kehidupan perempuan di bawah era Taliban. Film ini pertama kali tayang di Cannes pada Mei 2023, disutradarai oleh Sahra Mani, seorang produser film Afghanistan yang kini hidup di pengasingan.
Sahra Mani menggali kisah belasan perempuan pasca jatuhnya Kabul. Sebuah kisah yang jarang dipublikasikan tentang tirani Taliban dan dampaknya pada perempuan Afghanistan akan hadir minggu depan lewat dokumenter "Bread & Roses." Dokumenter itu sepenuhnya direkam dengan telepon selular.
Film berdurasi panjang ini diproduksi oleh aktris Jennifer Lawrence, pemeran film “Hunger Games", dan tokoh peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai. Alur ceritanya menggambarkan penderitaan sehari-hari yang dialami separuh penduduk Afghanistan sejak Taliban merebut kekuasaan usai pasukan Amerika Serikat menarik diri.
"Ketika Kabul jatuh pada 2021, semua perempuan kehilangan hak-hak paling mendasar mereka. Mereka kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan dan bekerja," kata Lawrence kepada AFP di Los Angeles seperti juga dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (17/11/2024).
"Beberapa dari mereka berprofesi sebagai dokter dan memiliki gelar tinggi, lalu hidup mereka berubah total dalam semalam."
Sahra Mani menggali kisah belasan perempuan pasca-jatuhnya Kabul. Ia mengajari para perempuan tersebut cara merekam diri mereka dengan menggunakan ponsel. Hasilnya adalah potret mengharukan yang menghubungkan kisah tiga perempuan Afghanistan.
Zahra, seorang dokter gigi yang praktiknya terancam ditutup oleh Taliban, mendadak menjadi pelopor protes melawan rezim tersebut.
Sharifa, mantan pegawai negeri yang kehilangan pekerjaannya dan terpaksa mendekam di rumah. Dia hanya bisa menghirup udara segar saat menjemur cucian baju di atap.
Sedangkan Taranom, seorang aktivis yang hidup di pengasingan di Pakistan, tak berdaya saat negara kelahirannya terjebak dalam intoleransi gaya abad pertengahan.
Aparteid Gender
"Pembatasan semakin ketat saat ini," kata Sahra Mani kepada AFP di karpet merah film tersebut di Los Angeles.
Dan hampir tidak ada orang di luar negeri yang peduli, katanya.
"Perempuan-perempuan Afghanistan tidak mendapatkan dukungan yang seharusnya mereka terima dari komunitas internasional."
Sejak mereka kembali berkuasa, Taliban menerapkan "apartheid gender" di Afghanistan, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perempuan secara perlahan dilarang muncul di depan ruang publik: pembatasan pergerakan perempuan, termasuk soal pendidikan. Kaum perempuan dilarang menimba ilmu di sekolah lanjut setelah lulus sekolah menengah. Taliban juga membatasi peluang kerja, dan menutup akses perempuan ke taman serta tempat umum lainnya.
Undang-undang baru bahkan melarang perempuan bernyanyi atau membaca puisi di depan umum.
Taliban menganut ajaran Islam yang konservatif, dengan interpretasi terhadap teks-teks suci yang diperdebatkan oleh banyak cendekiawan.
"Taliban mengklaim mewakili budaya dan agama, padahal mereka adalah kelompok kecil pria yang sebenarnya tidak mencerminkan keberagaman negara," kata Yousafzai, produser eksekutif film tersebut, kepada AFP.
"Islam tidak melarang seorang anak perempuan untuk belajar, Islam tidak melarang seorang perempuan untuk bekerja," kata aktivis Pakistan yang hampir dibunuh oleh Taliban saat berusia 15 tahun.
Film yang Mengabadikan Tahun Pertama Setelah Jatuhnya Kabul
Film dokumenter tersebut mengabadikan tahun pertama setelah jatuhnya Kabul, termasuk momen-momen ketika para perempuan berani menentang penindasan.
"Anda menutup universitas dan sekolah, Anda mungkin juga membunuh saya!" teriak seorang pengunjuk rasa kepada seorang Taliban yang mengancamnya selama demonstrasi.
Pertemuan para perempuan yang mengusung slogan "Kerja, roti, pendidikan!"tersebut akhirnya secara sistematis ditumpas oleh rezim.
Para pengunjuk rasa dipukuli, beberapa ditangkap, yang lain diculik.
Perlahan, perlawanan memudar, tetapi tidak padam. Sejumlah perempuan Afghanistan kini berusaha menambah ilmu lewat kursus-kursus bawah tanah.
Tiga tahun setelah Taliban merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil yang gagal dan korup, hanya sedikit negara yang secara resmi mengakui rezim mereka.
Para fundamentalis berharap terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat akan "membuka babak baru" hubungan Kabul dan Washington. Mereka berharap kebijakan luar negeri yang lebih transaksional akan diterapkan.
Bagi Mani, hal itu membunyikan lonceng peringatan.
Menyerah dalam membela hak-hak perempuan Afghanistan akan menjadi kesalahan besar dan kesalahan yang bisa disesali oleh Barat, katanya.
Semakin rendah tingkat pendidikan perempuan Afghanistan, semakin rentan anak laki-laki mereka terhadap ideologi yang memicu serangan teror 11 September 2001.
"Jika kami menanggung akibatnya hari ini, Anda mungkin akan menanggung akibatnya besok," pungkas Mani.