Liputan6.com, Washington, DC - Donald Trump akan segera kembali ke Gedung Putih dengan janji untuk mengakhiri perang di luar negeri. Di Timur Tengah, dia menghadapi dua konflik yang memanas, satu di Jalur Gaza dan satu di Lebanon.
Trump memperkenalkan dirinya kepada para pemilih Amerika Serikat (AS) sebagai pemimpin dan pembuat kesepakatan yang kuat. Ketika ditanya tentang perang Israel di Jalur Gaza, dia mengatakan, "Ingin menyelesaikannya dan mari kita kembali ke perdamaian dan berhenti membunuh orang."
Israel melancarkan serangan ke Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023 setelah serangan yang dipimpin Hamas ke Israel selatan pada hari yang sama. Adapun Hizbullah mulai menembakkan roket ke Israel keesokan harinya, yang diklaimnya sebagai bentuk solidaritas dengan Palestina.
Dengan pengeboman yang menghancurkan dan invasi darat, sejauh ini Israel telah menewaskan lebih dari 43.000 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta 3.000-an warga Lebanon.
Pertempuran di Lebanon dinilai telah membesar menjadi semacam pertempuran regional untuk menyeimbangkan kembali keseimbangan kekuatan di Timur Tengah, dengan Israel dan AS di satu pihak dan Iran serta apa yang disebut "poros perlawanan" di pihak lain.
Pernyataan Trump tentang mengakhiri perang dan melepaskan diri dari Timur Tengah akan berbenturan dengan dukungannya yang kuat terhadap Israel dan keinginannya untuk menerapkan kembali kampanye "tekanan maksimum" terhadap Iran.
"Trump kemungkinan besar akan melihat Iran sebagai ancaman nyata yang perlu dibendung, bukan melalui perang, namun penegakan sanksi yang ketat, khususnya pada ekspor minyak Iran," kata James Jeffrey, mantan pejabat senior AS untuk Trump, kepada Middle East Eye seperti dikutip Jumat (8/11/2024).
Trump mengatakan bahwa dia yakin Iran berada dalam "banyak bahaya" menyusul serangan Israel terhadap poros perlawanan. Komentar Trump tersebut muncul sebelum Israel melancarkan serangan langsung ke Iran.
Trump dan Perang di Lebanon
Dari kedua konflik di Timur Tengah, mengakhiri perang di Lebanon lebih menonjol dalam kampanye Trump. Dia secara khusus mengatakan ingin "menghentikan penderitaan dan kehancuran" di negara Mediterania tersebut bulan lalu.
Daya tarik Trump tampaknya sebagian berasal dari pengaruh penasihatnya dari Lebanon, Massad Boulos, yang putranya menikah dengan putri Trump, Tiffany. Boulos berkampanye dengan Trump di Michigan.
Di Lebanon, Trump akan mewarisi rancangan kasar pemerintahan Biden untuk gencatan senjata. Rencana tersebut menyerukan peningkatan pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon, pengerahan tentara Lebanon ke jantung selatan negara itu, dan pemberian lebih banyak kebebasan kepada Israel untuk beroperasi di Lebanon.
"Pada dasarnya, Lebanon akan berubah menjadi Suriah," kata seorang mantan pejabat senior AS dalam pemerintahan Trump sebelumnya, yang berhubungan dengan kampanyenya.
"Israel dapat beroperasi sesuka hati jika merasa terancam seperti yang terjadi di Suriah, tetapi Hizbullah tidak akan menyerahkan kekuasaan de facto-nya atas pemerintahan, seperti Bashar Assad."
Namun, mantan pejabat CIA dan Dewan Intelijen Nasional untuk Timur Tengah Alan Pino menilai Hizbullah tidak akan menyerahkan terlalu banyak wilayah kepada tuntutan AS karena dapat membatasi mobilitas dan kemampuannya untuk mempersenjatai kembali.
"Hizbullah tidak ingin terlihat terlalu lemah karena khawatir hal itu dapat mendorong lawan-lawan domestiknya untuk memanfaatkan mereka," tutur Pino.
"Warga Israel yang dievakuasi dari utara akan mendesak jaminan kuat yang akan menghentikan Hizbullah sebelum mereka kembali ke rumah mereka."
Sekitar 60.000 warga Israel telah mengungsi akibat tembakan roket Hizbullah, sementara 1,2 juta warga Lebanon mengungsi akibat serangan Israel.
Trump dan Jalan Menuju Negara Palestina Merdeka
Upaya Trump untuk menemukan solusi atas perang di Jalur Gaza akan menjadi tantangan yang lebih berat daripada perang di Lebanon.
Pemerintahan Biden menolak menggunakan transfer senjata sebagai bentuk pengaruh terhadap pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menekan Israel di meja perundingan - sebuah langkah yang tidak mungkin diambil Trump.
Pembicaraan gencatan senjata sendiri tengah menemui jalan buntu, dengan kesenjangan yang lebar antara Hamas dan Israel.
Hamas menuntut diakhirinya perang secara permanen dengan imbalan pembebasan sandera yang ditahannya, namun Israel menolak untuk mengikatkan diri pada gencatan senjata permanen.
Israel juga bersikeras mengendalikan penyeberangan di Rafah, perbatasan dengan Mesir, dan mempertahankan kendali atas Koridor Netzarim yang membelah Gaza Utara dan Selatan. Kedua tuntutan itu tidak diterima oleh Hamas.
Pada hari Selasa (5/11), Netanyahu memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant, yang mengkritik kelanjutan aksi militer di Jalur Gaza tanpa peta jalan politik. Netanyahu menggantinya dengan seorang loyalis, mantan menteri luar negeri, Israeli Katz.
"Peristiwa bersejarah kembalinya Anda ke Gedung Putih menawarkan awal baru bagi AS dan komitmen kuat terhadap aliansi besar antara Israel dan AS. Ini adalah kemenangan besar!" tulis Netanyahu di platform media sosial X.
Anggota sayap kanan pemerintah Israel juga menyambut kemenangan Trump dalam Pilpres AS 2024.
Itamar Ben Gvir, yang telah meminta Israel untuk menduduki kembali Jalur Gaza dan mengancam akan menggulingkan pemerintahan Netanyahu jika dia setuju untuk melakukan gencatan senjata, menulis "God Bless Trump" sebagai tanggapan atas kemenangan Trump.
Jika Trump memberikan keleluasaan kepada gerakan pemukim sayap kanan Israel maka itu bisa menjadi akhir dari setiap peluang gencatan senjata di Jalur Gaza.
"Jika Trump cerdas, dia harus bekerja sama dengan Israel untuk menciptakan jalan menuju Negara Palestina," ungkap Pino.
"AS perlu memikirkan (tentang) apa yang melayani kepentingan AS dalam jangka panjang."