Liputan6.com, Windhoek - Jika semuanya berjalan sesuai harapan partai penguasa Namibia, negara ini akan memilih kepala negara perempuan pertama dalam sejarahnya minggu ini. Namun, rasa kecewa terhadap gerakan pembebasan di Afrika, ditambah dengan sentimen anti-pemerintah yang berkembang di banyak negara, bisa mengancam pencapaian bersejarah tersebut.
Wakil Presiden Netumbo Nandi-Ndaitwah (72) adalah calon dari Swapo, partai yang memimpin Namibia sejak negara ini merdeka dari Afrika Selatan pada 1990.
Saat ini, Samia Suluhu Hassan dari Tanzania adalah satu-satunya presiden perempuan di Afrika. Jika Nandi-Ndaitwah menang, dia akan bergabung dengan klub eksklusif ini.
Partainya, yang telah mendominasi selama tiga dekade, mengalami penurunan dukungan signifikan dalam pemilu terakhir. Kini, mereka menghadapi pemilu dengan tingkat pengangguran 19 persen — hampir sama dengan 30 tahun lalu — serta masalah keuangan, dugaan korupsi, dan ketimpangan sosial.
Nandi-Ndaitwah telah mengabdi selama 25 tahun di posisi-posisi penting di Namibia, negara damai yang jarang penduduknya. Dia pernah menjadi menteri luar negeri, pariwisata, kesejahteraan anak, dan informasi.
"Saya selalu percaya pada kerja sama tim, itu yang membantu saya meraih semua yang saya capai," ujarnya, seperti dikutip dari BBC, Rabu (27/11/2024), bertepatan dengan pelaksanaan pilpres Namibia.
Nandi-Ndaitwah dikenal dengan gaya kepemimpinan yang langsung turun tangan, membuat keputusan yang realistis, dan sangat setia pada partai yang telah dia ikuti sejak remaja.
Pada usia 14 tahun, dia bergabung dengan gerakan perlawanan terhadap kekuasaan Afrika Selatan yang menguasai Namibia dan menerapkan sistem apartheid.
Nandi-Ndaitwah pernah memimpin Liga Pemuda Swapo, yang menjadi batu loncatan bagi karier politiknya.
Dengan pengalaman luas yang dimilikinya, Nandi-Ndaitwah merasa siap memimpin Namibia jika terpilih.
Rival Utama Nandi-Ndaitwah
Saingan utama Nandi-Ndaitwah di antara 14 calon lainnya adalah Panduleni Itula (67) dari Partai Independent Patriots for Change (IPC).
Seorang dokter gigi yang terlatih, Itula dulunya adalah anggota setia Swapo, namun dipecat dari partai tersebut pada tahun 2020 setelah mencalonkan diri sebagai kandidat independen melawan Presiden Hage Geingob dalam Pilpres 2019.
Itula juga pernah menjadi pemimpin pemuda dan menghabiskan waktu di penjara sebelum pergi ke pengasingan di Inggris pada awal 1980-an. Dia kembali ke Namibia pada tahun 2013.
Enam tahun kemudian, dia muncul secara karismatik di kancah politik Namibia, menantang Geingob dalam pilpres setelah mengkritik proses pemilihan calon yang dilakukan Swapo yang dianggapnya cacat.
Intervensi Itula dalam pilpres tersebut menyebabkan Swapo meraih persentase suara terendah dalam sejarah, 56 persen, serta kehilangan mayoritas dua per tiganya di parlemen.
Sebagai seseorang yang memiliki kehidupan profesional di luar politik, Itula memiliki daya tarik bagi 50 persen dari 1,5 juta pemilih yang berusia di bawah 35 tahun, banyak di antaranya menginginkan perubahan ekonomi, pekerjaan, atau peningkatan pendapatan yang terukur.
Gaya berbicaranya yang tegas dan kadang blak-blakan, yang jauh dari retorika politik formal ala Nandi-Ndaitwah, membuatnya mendapat banyak dukungan dari pebisnis dan kaum intelektual di kota-kota besar.
Sementara Itula dinilai gesit dan pandai bicara, Nandi-Ndaitwah cenderung lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata.
Sebagai perempuan pertama yang memiliki peluang untuk menjadi presiden Namibia, Nandi-Ndaitwah membawa harapan bagi sebagian perempuan yang menginginkan perubahan dari masyarakat patriarki. Namun, dia mewakili tradisi lama dari perjuangan pembebasan Namibia, sementara Itula membawa harapan akan perubahan dalam politik yang butuh pembaruan.
Analis politik Henning Melber mengatakan, persaingan ketat antara kedua calon ini mungkin akan memaksa pilpres masuk ke putaran kedua, jika tak ada yang mendapatkan lebih dari separuh suara.
Yang pasti, pemenang pilpres Namibia adalah sosok yang bisa dipercaya untuk menangani masalah seperti pengangguran, korupsi, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, serta memperkuat perekonomian.
IPC yang dipimpin Itula memang tidak ikut dalam Pilpres 2019, namun sejak saat itu tampil kuat di pemilu lokal dan dianggap sebagai alternatif politik yang kredibel. Partai ini mendapat pujian atas cara mereka mengelola pemerintahan daerah.