Liputan6.com, Teheran - Setelah menikah dengan pria asal Iran, Sriwijayanti atau yang biasa dipanggil Yanti, meninggalkan Indonesia untuk tinggal bersama suaminya di Teheran pada tahun 1997. Yanti yang kini sudah menjadi ibu dua anak dan masih tinggal di Iran menuturkan bahwa dirinya banyak menemukan kesalahpahaman di kalangan Warga Negara Indonesia (WNI) terkait negara itu.
"Hampir semua orang yang saya temui, terutama dulu sebelum maraknya media sosial, hampir 100 persen dari mereka berpikir bahwa Iran itu medan perang. Bahkan, delegasi dari pemerintah pun beranggapan demikian," kisah perempuan berusia 60 tahun itu kepada Liputan6.com pada Jumat, (13/12/2024).
"Mereka pada bilang, 'Loh, bu, perangnya di mana?' Setelah saya jelaskan ke mereka, hampir semuanya kaget karena mereka pikir Iran itu negara yang berantakan. Mereka akhirnya takjub kalau Iran itu modern, dengan gedung-gedung tinggi, dan jalan-jalan besar."
Yanti yang kerap bepergian ke berbagai kota di Iran menyaksikan sendiri betapa indahnya Negeri Para Mullah, yang memiliki sejarah peradaban tinggi.
"Saya suka bercanda dengan suami saya bahwa saya lebih banyak mengunjungi kota-kota lain di Iran dibanding dia. Saya pernah ke Isfahan, Masyhad, Syiraz, Yazd, Rasht, Tabriz, dan lain-lain," tutur Yanti.
"Saya paling suka pergi ke Tabriz karena tata kotanya sangat bagus sekali di sana, menurut saya. Di dekat sana, ada Desa Kandovan yang memiliki rumah-rumah dari tanah liat yang merupakan bagian peradaban yang tinggi pada saat itu. Kalau Isfahan, sangat terkenal dan merupakan kota pariwisatanya karena memang dulu pernah jadi ibu kota kerajaan. Kotanya cantik dan punya banyak peninggalan, seperti Gereja Zulfa yang selalu dikunjungi. Iran itu kaya akan budaya yang beragam."
Nekat Jadi Penerjemah
Yanti sendiri bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Teheran.
"Setelah punya dua anak di sini karena saya tidak suka diam, saya melamar ke KBRI Teheran yang kebetulan membutuhkan penerjemah. Jadi, saya mulai kerja di KBRI sebagai penerjemah di rumah sakit lapangan yang merupakan bantuan pemerintah Indonesia pada saat terjadinya Gempa Bumi Bam di Iran tahun 2003," ujar Yanti, yang tidak merasakan dampak gempa magnitudo 6,6 tersebut.
"Sejak saat itulah saya mulai bekerja di KBRI sebagai penerjemah, meski sebelumnya saya sudah sering dilibatkan di acara-acara KBRI, seperti pameran dan sebagainya.
Sebelumnya, Yanti pernah berkarier sebagai engineer di maskapai penerbangan Garuda Indonesia.
"Saya menjadi penerjemah nekat saja modalnya karena saya tidak ada pendidikan khusus yang saya ikuti. Saya belajar bahasanya dari mendengarkan berita dan menonton film-film Iran yang bagus sekali," ungkap Yanti.
Faktanya, tugas Yanti tidak hanya berhenti sebagai penerjemah saja.
"Di KBRI, kita itu local staff dan tidak memiliki jenjang karier karena kita bukan diplomat. Di sini ada berbagai fungsi, seperti fungsi politik, fungsi ekonomi, fungsi sosial budaya, dan kita adalah fungsi yang mendukung para diplomat sebagai sekretaris, penerjemah, dan sebagainya," terang Yanti.
"Uniknya, karena saya bisa bahasa Indonesia dan Persia, serta sudah lama tinggal di sini, walau bukan tugas saya, saya menolong orang-orang yang perlu bantuan dan mereka cenderung nyaman bersama saya. Selain tugas saya membantu diplomat dan keluarganya, saya juga membantu teman-teman diaspora dan WNI lain yang berkunjung ke Iran."
Walau tinggal di negara orang selama hampir tiga dekade, jiwa nasionalisme Yanti masih kuat sehingga bertemu bersama WNI lain merupakan bagian yang menyenangkan dari pekerjaan baginya.
Pekerjaan yang membuatnya berinteraksi dengan banyak orang Indonesia diakui Yanti menjadi penawar rindu sekaligus wujud pengabdian pada tanah airnya.
"Yang paling saya sukai di sini itu saya bisa berinteraksi dengan orang Indonesia, jadi terasa kayak di tanah air sendiri. Saya sangat senang interaksi dengan mereka, terutama para ibu-ibu lain dan diplomat wanita," kata Yanti.
"Lalu, kita juga diberi tugas pendampingan delegasi. Kebetulan, saya pernah menjadi staf berbagai fungsi, seperti fungsi konsuler, fungsi ekonomi, fungsi sosial budaya, dan lain-lain. Jadi, saya sering mendampingi delegasi-delegasi kita, seperti delegasi Women’s Islamic Games tahun 2006 yang berjumlah hampir 80-an orang. Selain itu, saya mendampingi delegasi kenegaraan. Saat kunjungan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, saya menjadi penerjemah untuk almarhumah Ibu Ani."
Yanti bangga dan menikmati tugasnya dalam mendampingi delegasi dari Indonesia, terlebih dalam ajang-ajang perlombaan.
"Saya senang sekali, terutama saat kita mengikuti lomba-lomba. Kan kalau tim kita menang, lagu Indonesia Raya selalu dikumandangkan, sepertinya saya yang bernyanyi paling kencang. Saya tidak mau dilepas dari Indonesia," ujarnya.