Liputan6.com, Shanghai - Pada 27 Oktober 2023, hanya sepuluh menit setelah tengah malam, Mantan Perdana Menteri China, Li Keqiang, meninggal dunia di Shanghai karena serangan jantung pada usia 68 tahun. Menurut media pemerintah, meskipun ada upaya “habis-habisan” untuk menyadarkannya, nyawanya tidak bisa diselamatkan.
Melansir dari BBC, Li diketahui merupakan satu-satunya pejabat tinggi China yang sedang menjabat dan tidak termasuk dalam kelompok loyalis Presiden China Xi Jinping.
Li pernah diperkirakan akan menjadi pemimpin masa depan negara ini namun ia disalip oleh Presiden Xi Jinping. Sebagai seorang ekonom terlatih, ia memegang posisi tertinggi kedua di China, meskipun dalam beberapa tahun terakhir ia terisolasi di antara para pemimpin tertinggi negara tersebut.
Li dikenal sebagai salah satu tokoh politik paling cerdas di generasinya. Dia diterima di Fakultas Hukum Universitas Peking yang bergengsi segera setelah universitas-universitas dibuka kembali pasca Revolusi Kebudayaan Mao yang diperkirakan mengorbankan jutaan nyawa.
Li terkenal di luar China karena indeks Li Keqiang, sebuah istilah yang diciptakan oleh The Economist sebagai pengukuran informal kemajuan ekonomi China.
Li berasal dari keluarga sederhana dan merupakan putra dari seorang pejabat lokal. Ia lahir pada bulan Juli 1955 di Dingyuan, Provinsi Anhui, China bagian timur.
Dia naik pangkat, menjadi gubernur provinsi termuda di China dan kemudian meraih posisi di eselon teratas kepemimpinan pusat partai, Komite Tetap Politbiro.
Pada satu waktu, ada spekulasi bahwa ia akan dipersiapkan untuk menggantikan pendahulu Xi, Hu Jintao. Dia secara umum dianggap sebagai anak didik Hu dan merupakan orang terakhir yang ditunjuk oleh pemerintahan Hu untuk tetap berada di Komite Tetap Politbiro sebelum dia mengundurkan diri pada Maret 2023. Tahun-tahun kepemimpinan Hu dipandang sebagai masa keterbukaan terhadap dunia luar dan peningkatan toleransi terhadap ide-ide baru.
Li dikenal sebagai sosok yang pragmatis dalam kebijakan ekonomi, dengan fokus pada pengurangan kesenjangan ekonomi dan penyediaan perumahan yang terjangkau. Li juga mendorong kebijakan untuk mendukung kewirausahaan dan inovasi teknologi, terutama di kalangan anak muda.
Dalam sebuah Partai yang didominasi oleh para insinyur, ia adalah seorang ekonom yang dikenal karena sikapnya yang blak-blakan. Ia secara terbuka mengakui masalah-masalah ekonomi China untuk mencari solusinya.
Kebijakan ekonominya tentang reformasi struktural dan pengurangan utang, yang disebut “Likonomics”, bertujuan untuk mengurangi ketergantungan China pada pertumbuhan yang dipicu oleh utang dan mengarahkan ekonomi menuju kemandirian.
Di luar bidang ekonomi, Li juga memimpin kampanye besar-besaran melawan polusi udara di Tiongkok selama menjabat sebagai perdana menteri. Ia terkenal dengan “mendeklarasikan perang” melawan polusi pada tahun 2014 dan mengakui pada tingkat tertinggi bahwa polusi udara merupakan krisis bagi negara. Upayanya berbuah berupa pengurangan polusi yang signifikan dan risiko-risiko kesehatan yang terkait.
Akhir masa jabatan Li diwarnai dengan krisis nol-COVID di China.
Selama masa-masa terparah, ia memperingatkan bahwa ekonomi berada di bawah tekanan besar dan meminta para pejabat untuk berhati-hati agar tidak membiarkan pembatasan menghancurkan pertumbuhan. Dia bahkan tampil tanpa masker di depan umum sebelum China mencabut kebijakan nol-COVID tersebut.
Tetapi ketika para kader harus memilih antara perintah Li untuk melindungi ekonomi dan perintah Xi untuk mempertahankan nol-COVID dengan disiplin yang ekstrem, mereka memilih untuk memperketat restriksi.
Kebijakan nol-COVID menghantam ekonomi China dengan keras, mencekik rantai pasokan dan menutup bisnis, dari pusat ekonomi Shanghai hingga ke pedalaman.