Liputan6.com, Wilmington - Pada 10 November 1898, sekelompok pemberontak kulit putih bergabung dengan milisi lokal untuk menyebar teror, mencabut hak, mengusir, dan membunuh orang-orang kulit hitam di Wilmington, North Carolina. Massa secara paksa menurunkan pejabat-pejabat terpilih dan mengganti pemimpin kota tersebut. Kejadian yang dikenal sebagai Pembantaian Wilmington ini merupakan satu-satunya kudeta yang sukses dalam sejarah Amerika Serikat.
Wilmington pada saat itu merupakan kota dengan penduduk mayoritas kulit hitam yang paling progresif di wilayah Selatan Amerika Serikat. Para pemberontak marah dan takut terhadap pemerintah daerah baru, yang meliputi pejabat kulit putih dan hitam.
Dilansir dari History.com, disebutkan bahwa pada tahun-tahun menjelang 1898, Wilmington menjadi kota paling progresif di Selatan AS. Pada tahun 1896, hampir 126 ribu pria kulit hitam di Wilmington terdaftar sebagai pemilih. Kelas menengah kulit hitam yang berkembang di kota ini memiliki sekitar 65 dokter, pengacara dan pendidik, sejumlah tukang cukur dan pemilik restoran, petugas kesehatan masyarakat, anggota kepolisian, serta pemadam kebakaran.
Dalam hanya tiga dekade setelah emansipasi, warga kulit hitam memegang berbagai posisi kekuasaan, menjadi anggota dewan kota, hakim, dan pejabat terpilih lainnya.
Integrasi ini merupakan hasil dari politik Fusi, sebuah fenomena politik di North Carolina yang menggabungkan Partai Populis (yang sebagian besar terdiri dari petani kulit putih yang miskin) dan Partai Republik (afiliasi politik pilihan bagi warga kulit hitam yang telah dimerdekakan) ke dalam satu entitas.
Mereka bersekutu melawan Partai Demokrat yang terdiri dari para segregasionis kulit putih kaya raya, yang menurut kaum populis kulit putih lebih mementingkan kepentingan bank, perusahaan kereta api, dan konstituen yang makmur dibandingkan dengan rakyat jelata.
Bersama-sama, kaum Populis dan Partai Republik merebut mayoritas politik, menguasai negara bagian tersebut pada tahun 1894, memilih Partai Republik untuk menduduki kursi negara bagian dan federal, serta menggulingkan Partai Demokrat dari kekuasaan politik.
Takut dengan hilangnya supremasi kulit putih, Partai Demokrat di Wilmington merencanakan Khawatir akan hilangnya supremasi kulit putih, Partai Demokrat Wilmington merumuskan strategi untuk merebut kembali kekuasaan dan melucuti hak-hak politik dan ekonomi warga kulit hitam.
Para tokoh Demokrat lokal yang berpengaruh bersiasat untuk memikat para pemilih kulit putih agar menjauh dari Partai Fusi serta melawan warga kulit hitam secara umum.
Tujuan tersebut dijelaskan dalam buku panduan resmi Partai Demokrat tahun 1898: “Ini adalah negara orang kulit putih, dan orang kulit putih harus mengendalikan dan memerintahnya.”
Surat Kabar Menjadi Medan Pertempuran
Para pendukung supremasi kulit putih mulai menyebarluaskan kebohongan dan ujaran kebencian terhadap orang-orang kulit hitam via surat kabar.
Penerbit The News & Observer yang merupakan surat kabar terbesar di North Carolina, Josephus Daniels menggunakan korannya untuk mempublikasikan laporan-laporan yang aneh dan palsu tentang “ancaman Negro”. Korannya mengobarkan ketakutan bahwa negara bagian tersebut akan dikuasai oleh partai politik kulit hitam, meskipun Partai Fusi sebagian besar terdiri dari orang kulit putih. Koran itu juga menerbitkan cerita dan kartun yang menunjukkan pria kulit hitam yang melecehkan wanita kulit putih.
Pada saat yang sama, koran North Carolina lainnya memuat pidato dari penulis, yang kemudian menjadi Senator AS, Rebecca Felton, yang mengatakan bahwa ia akan mendukung pembunuhan seorang pria kulit hitam setiap hari jika hal tersebut dapat melindungi wanita kulit putih.
Pidatonya mendorong editor The Daily Record, surat kabar kulit hitam terkemuka di Wilmington, Alex Manly, untuk menulis sebuah teguran pedas. Dalam sebuah kolom yang diterbitkan beberapa minggu sebelum pemilihan November 1898, Manly, yang merupakan cucu blasteran dari seorang gubernur berkulit putih, menyerang ungkapan yang sering dipublikasikan tentang perempuan kulit putih yang dilecehkan oleh “pria kulit hitam yang besar dan kekar.”
Dia mengacu pada realitas rumit dari percintaan konsensual yang kadang-kadang dilakukan oleh wanita kulit putih dengan pria blasteran yang ayahnya berkulit putih. Pria kulit putih itu lah yang pada kenyataannya, jauh lebih mungkin melakukan pemerkosaan terhadap wanita kulit hitam yang tidak berdaya.
Surat kabar di seluruh negara bagian mencetak ulang tulisan Manly, membuat warga kulit putih marah.
Pada pemilu November tahun itu, Partai Demokrat telah sepenuhnya mengubah sentimen kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam.
Kampanye Diteror, Kudeta Terjadi
Selama kampanye, polisi kulit putih mendatangi rumah-rumah warga kulit hitam, mencambuk pria kulit hitam dan mengancam mereka dengan pembunuhan jika mencoba memberikan suara.
Pada hari pemilu, gerombolan kulit putih bersenjata berkumpul di luar tempat pemungutan suara di Wilmington, mengancam warga kulit hitam yang mencoba memberikan suara. Hasilnya, partai Demokrat memenangkan setiap posisi yang mereka calonkan.
Setelah dilengkapi dengan kekuatan politik, Partai Demokrat beralih ke tujuan kedua mereka: menghilangkan kekayaan ekonomi warga kulit hitam Wilmington dan melembagakan supremasi kulit putih.
Sehari setelah pemilu yang curang itu, Demokrat Wilmington menerbitkan “Deklarasi Kemerdekaan Kulit Putih,” yang menyatakan, “Kami tidak akan lagi diperintah dan tidak akan pernah lagi diperintah oleh orang-orang yang berasal dari Afrika.”
Deklarasi tersebut mencabut hak warga kulit hitam Wilmington untuk memilih, menuntut agar pekerjaan di kota yang dipegang oleh orang kulit hitam diberikan kepada konstituen kulit putih dan agar Alex Manly meninggalkan kota atau dihukum mati. Dia melarikan diri ke wilayah Utara AS.
Keesokan paginya, ratusan orang bersenjata berbaris di depan percetakan milik Manly dan kantor The Daily Record, membakar keduanya hingga rata dengan tanah.
Massa kemudian berbaris ke balai kota, di mana mereka memaksa wali kota dan anggota dewan kota dari Partai Republik yang terpilih secara sah untuk mengundurkan diri. Alfred Moore Waddell, salah satu instigator utama dan mantan prajurit konfederasi, lalu dilantik sebagai pengganti wali kota.
Setelah kudeta, massa membengkak menjadi hampir 2 ribu orang yang kemudian meneror kota. Didukung oleh polisi rasis dan milisi negara yang baru saja dilantik, serta dipersenjatai dengan senjata api, massa menewaskan sedikitnya 60 warga kulit hitam, meskipun banyak sejarawan mengatakan jumlahnya bisa mencapai ratusan.
Permohonan bantuan dari warga kulit hitam Wilmington yang diajukan kepada pemerintah negara bagian dan Gedung Putih tidak digubris.
Ketika pembantaian berakhir, lebih dari 100 pejabat pemerintah kulit hitam, seperti anggota dewan kota, panitera kota, bendahara, jaksa kota, dan lainnya, dipaksa keluar dari jabatan mereka. Sekitar 60 hingga 250 warga kulit hitam dibunuh.
Setelah kudeta, lebih dari 100 ribu pemilih kulit hitam yang terdaftar melarikan diri dari kota. Tidak ada warga kulit hitam yang menjabat di posisi publik selama 75 tahun ke depan.
Kudeta Meninggalkan Bekas Luka Abadi
Selain pembunuhan, massa juga memaksa hampir semua warga kelas menengah dan atas berkulit hitam di Wilmington untuk meninggalkan kota. Setelah mereka pergi, pemerintah lokal yang baru terpilih kemudian mulai melembagakan kebijakan segregasi Jim Crow sebagai hukum lokal.
Kudeta ini menghancurkan kekuatan politik dan ekonomi warga kulit hitam di Wilmington selama hampir 100 tahun. Pada tahun 1902, jumlah pemilih kulit hitam yang terdaftar berkurang dari lebih dari 125 ribu menjadi sekitar 6.100 orang. Setelah kudeta, tidak ada warga kulit hitam yang menjabat sebagai pejabat publik di Wilmington hingga tahun 1972. Baru pada tahun 1992, seorang warga kulit hitam terpilih menjadi anggota Kongres.
“Kelas menengah dan pedagang kulit hitam tidak pernah dipulihkan hingga hari ini,” ujar David Zucchino, penulis buku Wilmington's Lie dan pemenang Hadiah Pulitzer.
“Kudeta tersebut meninggalkan bekas luka permanen di kota ini. Wilmington menjadi tempat di mana tidak ada orang kulit hitam yang mau datang kecuali, jika meminjam istilah yang digunakan di koran, mereka 'tahu tempat mereka'."
Segera setelah kudeta dan selama lebih dari 100 tahun setelahnya, surat kabar, media, dan lembaga-lembaga milik negara di North Carolina mengaburkan atau memutarbalikkan kebenarannya, menggambarkan kudeta sepihak itu sebagai perang rasial yang dipicu, sebagian, oleh agresi orang kulit hitam. Banyak pemimpin kudeta, termasuk Waddell, digembar-gemborkan sebagai pahlawan yang berani dan tidak ada dari mereka yang dituntut atas kejahatannya.