Liputan6.com, Jakarta Belum semua universitas yang ada di Indonesia menerima mahasiswa penyandang disabilitas.
Menurut data yang disampaikan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, hanya ada 90 universitas atau 1,99 persen dari 4.523 perguruan tinggi di Indonesia yang secara resmi menerima mahasiswa penyandang disabilitas.
Sedangkan, perguruan tinggi yang memiliki pusat layanan disabilitas hanya 0,2 persen dari jumlah total perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, hanya ada 8 perguruan tinggi yang menyediakan platform penerimaan khusus bagi mahasiswa difabel.
Data tersebut merupakan hasil riset awal yang dilakukan oleh Center for Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) UNU Jogja dan University of the West of England, Bristol, Inggris.
Riset yang merupakan bagian dari program UK-Indonesia Disability Inclusion Partnership Program ini mengemuka di seminar internasional “Developing Inclusive Policies and Practises for Greater Accessibility in Higher Education.” Seminar ini digelar di kampus terpadu UNU Jogja, Banyuraden, Gamping, Sleman, DIY pada Selasa, 21 Januari 2025.
Dalam sambutannya, Ketua Senat UNU Jogja, Ahmad Rafiq, menjelaskan, sebagai kampus baru yang berdiri 8 tahun silam, UNU Jogja telah berkomitmen menjadi kampus inklusif.
Hal ini ditunjukkan dengan pendirian Center for GEDSI dan pembangunan Kampus Terpadu UNU Jogja.
“Gedung ini dan sarana prasarananya didesain ramah difabel,” kata Rafiq mengutip laman UNU, Rabu (22/1/2025).
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa di bidang pendidikan. Jasanya untuk mendidik kerap kali disepelekan meski nyatanya sulit dalam prosesnya, seperti baru-baru ini viral aksi guru di sebuah SLB. Ia dengan sabar mengajarkan bahasa Inggris pada siswa...
Jadi Kampus Inklusif Berbasis Sains dan Teknologi
Upaya UNU untuk menjadi kampus inklusif juga dilakukan melalui kolaborasi UNU Jogja dan University of the West of England serta didukung British Council.
Rafiq menyatakan, komitmen UNU Jogja ini selaras dengan visi untuk menjadi kampus berorientasi masa depan.
“Kami melompat jauh ke depan, memahami isu-isu yang tak terhindarkan di masa depan teknologi. Semua inisiatif ini berbasis sains dan teknologi serta prinsip kebermanfaatan, memanusiakan manusia, dan tanpa meninggalkan siapapun, no one left behind,” ujarnya.
Mahasiswa Penyandang Disabilitas di Inggris
Sebagai pembicara kunci, Tariq Umar dari University of the West of England (UWE) memaparkan tentang praktik pendidikan inklusif di Inggris.
Di negara itu, terdapat 14 persen mahasiswa penyandang disabilitas. Untuk itu, pendidikan inklusif diterapkan dengan memberikan kesetaraan dalam mengakses sumber daya dan kesempatan terhadap pendidikan.
“Universitas berperan penting dalam mendorong diversitas dan inklusivitas,“ ujarnya.
Selain adanya payung hukum, dukungan kampus kepada penyandang disabilitas juga diberikan melalui layanan aksesibilitas. Seperti adanya pendamping dan ketersediaan ruang fisik dan digital yang ramah difabel, serta adanya dukungan teknologi melalui software khusus dan bahan pembelajaran yang ramah difabel.
“UWE melakukan pendekatan proaktif dalam layanan disabilitas dan menginisiasi kurikulum inklusif,” imbuhnya.
Permudah Penyandang Disabilitas Kenyam Pendidikan Tinggi
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Center for GEDSI UNU Jogja, Wiwin Rohmawati, menjelaskan komitmen kampus inklusif UNU Jogja telah diwujudkan melalui beberapa langkah. Seperti adanya jalur khusus difabel dalam penerimaan mahasiswa baru (PMB) dan fasilitasi beasiswa untuk mahasiswa difabel.
Sejauh ini, UNU Jogja telah menerima 7 mahasiswa difabel, yang terdiri dari disabilitas rungu/tuli, disabilitas netra, dan disabilitas daksa.
“Saat ini juga ada lebih dari 40 mahasiswa sukarelawan yang menjadi pendamping teman-teman disabilitas mereka dalam kegiatan akademik dan non-akademik,” kata Wiwin.
Dia menyatakan, program kolaborasi bersama UWE, termasuk melalui penyelenggaraan seminar ini, berupaya mengembangkan rekomendasi kebijakan dan praktik baik. Tujuannya, agar penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan tinggi dengan dukungan kebijakan, sistem, sarana, prasarana, dan proses pembelajaran yang inklusif. Sehingga, mereka dapat mencapai potensi penuh dan menyelesaikan studi mereka.
“Kami juga meninjau kebijakan, peraturan, dan praktik mengenai aksesibilitas penyandang disabilitas pada pendidikan tinggi di Indonesia dan di Inggris untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada,” papar Wiwin.
Selain itu, agenda ini juga digunakan untuk membangun jejaring antara unit atau pusat layanan disabilitas di Indonesia. Dan meresmikan website Inclusive Higher Education sebagai layanan informasi untuk mendukung aksesibilitas yang lebih baik pada pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas.
“Forum ini juga mendiskusikan peta jalan untuk mengurangi gap dan akses pengarusutamaan praktik pendidikan inklusi di Indonesia,” pungkasnya.