Liputan6.com, Jakarta - Donald Trump tengah bersiap kembali ke Gedung Putih untuk kedua kalinya. Hasil perhitungan suara menunjukkan, Trump menang dengan perolehan 312 suara elektoral vs Kamala Harris 226 suara electoral. Trump menyapu bersih ketujuh swing states yang diperebutkan yakni Wisconsin, Michigan, Pennsylvania, North Carolina, Georgia, Arizona, dan Nevada, yang enam di antaranya dimenangkan Joe Biden pada 2020.
Kemenangan telak Trump di Pilpres 2024 cukup mengejutkan, tapi sudah dalam skenario para analis. Menurut Harry Enten, Senior Data Journalist CNN, pada 24 Oktober, dengan marjin keunggulan kedua capres di tujuh swing states rata-rata di bawah 2%, maka kedua calon sama-sama berpeluang untuk menang. Ini karena margin of error rata-rata poling di swing states mencapai 4,3% sejak 1972.
Selain itu, menurut 60% aggregate of forecast models, salah satu capres akan memenangkan semua swing states yang diperebutkan: Harris bisa menang dengan maraih 319 suara elektoral vs Trump 219 atau Trump meriah 312 suara electoral vs Harris 226 suara electoral, tergantung pada apakah polling error akan menguntungkan Trump atau Harris.
Sejumlah pihak di kubu Partai Demokrat menyalahkan Biden atas kekalahan Kamala Harris: Mengapa baru mundur tiga bulan sebelum pilpres? Mengapa harus mengeluarkan pernyataan seperti, "pengikut Trump adalah sampah"?
Lainnya menyalahkan tim Harris karena gagal memobilisasi dukungan koalisi pemilih yang mengantarkan Biden ke Gedung Putih pada 2020 atau aksi lapangan yang dianggap tidak tepat sasaran. Semua faktor tersebut mungkin berkontribusi terhadap kekalahan Harris, tapi akar penyebab kekalahan Harris berasal dari aspek-aspek politik yang lebih mendasar.
Pendulum Dominasi Politik AS Tengah Berayun ke Kanan
Peribahasa yang mengatakan "hidup seperti roda pedati, kadang di atas, kadang di bawah," tampaknya berlaku dalam politik AS. Sejak menjadi partai dominan pada pilpres 1856, Partai Republik dan Partai Demokrat berkuasa saling bergantian. Adakalanya salah satu partai berkuasa dalam periode yang sangat lama.
Partai Republik pernah memenangkan kursi kepresidenan empat periode berturut-turut: 1896, 1900, 1904 dan 1908. Partai Republik juga pernah menguasai Gedung Putih tiga periode dengan menang di pilpres 1920, 1924 dan 1928; dan pilpres 1980, 1984 dan 1988, di era Ronald Reagan dan George H.W. Bush. Partai Demokrat bahkan pernah memenangkan pilpres lima kali berturut-turut yakni pilpres 1932, 1936, 1940, 1944 dan 1948 di era presiden Franklin D. Roosevelt dan Harry Truman.
Faktor pemicunya bermacam-macam. Wall Street Crash dan Great Depression pada 1929 dan popularitas Roosevelt selama Perang Dunia II membuat Partai Demokrat berkuasa hingga lima periode. Sementara perang dingin dan realiasi south states membuat Reagan-Bush berkuasa tiga periode. Kenaikan pajak, inflasi dan pengangguran di akhir periode pertama Bush membuat kelas pekerja hijrah dari Partai Republik ke Partai Demokrat, sehingga Bush kalah oleh Bill Clinton di pilpres 1992. Kegagalan presiden Barack Obama dalam merealisasikan janji-janjinya di bidang perekonomian serta sentimen rasial membuat kelas pekerja kembali berpidah ke Partai Republik.
Pergeseran politik AS ke kanan terlihat jalas dalam exit poll The New York Times di pilpres 8 November lalu, 38 dari 50 negara bagian AS bergeser ke Partai Republik dibanding 2020. Seluruh swing states saat ini lebih merah dibanding empat tahun lalu, dari Nevada (R +1,1 poin) hingga Michigan (R +4,2 poin).
Pergeseran ke Partai Republik terjadi di semua wilayah: kota besar (R +5,8 poin), kota kecil (R +4,4 poin) dan pedesaan (R +3,9 poin). Juga di daerah-daerah yang didominasi entnis minoritas: mayoritas Hispanik (R +13,3 poin), mayoritas penduduk asli Amerika (R +10,0 poin) dan mayoritas kulit hitam (R +2,7 poin).
Migrasi Kaum Hispanik Sempurnakan Pembelotan Working Class
Pemilih Hispanik menjadi salah satu andalan utama capres Partai Demokrat setiap pilpres. Dukungan tertinggi kaum Hispanik diperoleh Bill Clinton pada 1996 dengan marjin +51% (72% vs 21%) dan Barack Obama pada 2008 dengan +36% (67% vs 31%). Pada pilpres 2024, mayoritas pemilih Hispanik masih mendukung Harris, tapi hanya dengan marjin +6% (52% vs. 46%), anjlok dari +33% (65% vs 32%) pada 2020, menurut exit poll CNN.
Seperti dilansir ABC News, tokoh progresif dari Senator Bernie Sanders menilai turunnya dukungan Hispanik terhadap Harris menjadi bukti bahwa Partai Demokrat semakin ditinggalkan oleh para pemilih dari kelas pekerja (working class), yang saat ini dihadapkan pada ketidakstabilan perekonomian, besarnya kesenjangan kekayaan dan sistem dukungan yang kurang memadai.
Sebelumnya, menurut Sanders, kelas pekerja dari kalangan kulit putih sudah hengkang dari basis pendukung Partai Demokrat. Pada pilpres 2008, Obama didukung mayoritas (54%) pemilih yang tidak mengenyam bangku kuliah, yang merupakan pondasi utama kelas pekerja. Untuk kalangan kulit-putih di segmen ini, Obama hanya ketinggalan -18% (40% vs 58%). Sementara Harris hanya didukung 42% pemilih lulusan SMA ke bawah dan ketinggalan -34% (32% vs 66%) di kalangan pemilih kulit putih yang tidak menempuh pendidikan tinggi.
Pembelotan pemilih Hispanik ke Partai Republik ternyata bukan sekadar pemberontakan kelas pekerja, namun karena adanya fenomena realiansi rasial. Menurut Pew Research Center, 2,5 juta warga Hispanik AS mengubah identitas rasial mereka dari 'Hispanic' pada sensus 2000 menjadi 'White' pada sensus 2010. Data American Community Survey (ACS) dari Census Bureau, Pew Research Center juga mengungkapkan bahwa pada 2022, jumlah warga Hispanik yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai warga kulit putih melonjak menjadi 10,7 juta.
Chief Political Analyst The New York Times, Nate Cohn mengatakan, fenomena ini membuktikan kebenaran teori bahwa kaum Hispanik akan berasimilasi dengan kaum kulit putih Amerika, seperti halnya warga keturunan Italia dan Irlandia, yang secara universal tidak dianggap sebagai kaum kulit putih. Jika tren ini berlanjut, maka Partai Republik yang identik dengan partainya kaum kulit putih--karena 80% pemilih Donald Trump di pilpres 2024 adalah kaum kulit putih--berpotensi meningkatkan basis pendukungnya.
Elon Musk Menjadikan X Sebagai Corong Trump
Pada pilpres 2020, semua platform media sosial utama (Facebook, Twitter dan YouTube) memilih posisi netral dan mereka bisa dikatakan cukup sukses menghalau misinformasi terkait pilpres. The New York Times pada 4 November 2020 melaporkan bahwa Twitter, Facebook dan YouTube selama berbulan-bulan telah bersiap memberangus misinformasi di hari pemilihan langsung dan hal itu berhasil dilakukan tanpa hambatan. Seluruh platform media sosial menambahkan label pada postingan Trump yang menyesatkan dan memberi penjelasan kepada pengguna mengenai update hasil pemilu resmi.
Situasi berbeda terjadi di pilpres 2024, ketika Elon Musk secara terbuka mendukung Trump. Dukungan kuat Musk terhadap Trump juga terlihat di X, seperti dilansir sejumlah media. The Independent, misalnya, melaporkan adanya peningkatan view dan engagement postingan Musk di X segera setelah mengumumkan dukungan terhadap pencalonan Trump. Banyak postingan Musk berisi dukungan terhadap para kandidat Partai Republik atau menyerang para kandidat Partai Demokrat, dengan view dan engagement meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan akun-akun politik terkemuka lainnya di X.
Timothy Graham, associate professor di bidang media digital di Queensland University of Technology dan Mark Andrejevic, profesor di bidang media di Monash University, yang melakukan riset mengatakan, hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa Musk mungkin telah men-tweak algoritma X sehingga jangkauan postingan pribadinya meningkat pada pilpres AS 2024.
Susie Wiles dan Chris LaCivita Sukses Memimpin Kampanye Trump
Pada pilpres 2020, tim kampanye Trump dipimpin oleh Bill Stepien yang berusia 42 tahun. Stepien menggantikan manajer kampanye sebelumnya, Brad Parscale, yang juga baru berusia 44 tahun, pada pertengahan Juli 2020. Adapun Stepien sebelumnya adalah manajer kampanye untuk Gubernur New Jersey, Chris Christie tapi minim pengalaman untuk mengeloka kampanye di tingkat nasional.
Pada pilpres 2024 ini, tim kampanye Trump dimotori oleh Susie Wiles (70 tahun) dan Chris LaCivita (58 tahun) yang sama-sama menyandang jabatan co-campaign manager. Keduanya merupakan konsultan senior dalam kancah kampanye politik AS.
Wiles sudah 40 tahun menjadi konsultan dan manajer kampanye untuk politisi Partai Republik, dari pemilihan walikota hingga presiden. Dia bahkan pernah bekerja selama beberapa tahun di pemerintahan Ronald Reagan. Menurut NBC News, dengan pembawaan yang tenang, Wiles menjadi penyeimbang bagi Trump yang emosional dan mudah terprovokasi, serta membuat kampanye Trump lebih disiplin dan terarah.
Sementara LaCivita, seperti dilansir dari MotherJones, sudah lama diasosiasikan dengan politik kotor (the dark art of politics). Reputasi ini sudah melekat selama lebih dari 20 tahun, saat dia menjabat sebagai direktur politik National Republican Senatorial Committee untuk pemilu sela 2002.
Hasil kerja LaCivita yang paling monumental adalah kesuksesan 'menenggelamkan' capres Partai Demokrat, Senator John Kerry, pada pilpres 2004 melalui kampanye oleh kelompok Swift Vets and POWs for Truth (SBVT) terkait sejak terjang Kerry di Perang Vietnam. Kampanye SBVT membuat Kerry kalah oleh George W. Bush dengan 251 vs 286 suara elektoral dan -2,4% suara popular. Padahal sebelum Konvensi Nasional Partai Demokrat, Kerry unggul 3% - 6% atas Bush.
Artikel bertajuk "Trump Just Ran The Most Racist Campaign In Modern History ― And Won" di media pro- Partai Demokrat, Huffpost, yang menggambarkan bagaimana misogini dan rasisme menjadi salah satu tema sentral dalam kampanye Trump, menunjukkan bahwa LaCivita telah membawa "the dark art of politics" ke tingkat baru.
What’s Next?
Selain menguasai Gedung Putih, Partai Republik juga sudah dipastikan memenangkan suara mayoritas di Senat dengan minimal 52 kursi. Hasil akhir di Senat masih menunggu hasil perhitungan suara di Pennsylvania, dimana calon senator Partai Republik Dave McCormic untuk sementara unggul +0,42% atau hampir 30.000 suara. Partai Republik juga diprediksi akan mempertahankan mayoritas di DPR yang hingga hari ini sudah unggul sementara di DPR dengan 215 kursi. Ini berarti hanya perlu 3 kursi lagi untuk mempertahankan mayoritas.
Dengan Partai Republik menguasai trifekta politik (Gedung Putih, Senat dan DPR) maka Trump memiliki kekuasaan yang nyaris tidak terbatas, karena hampir semua anggota Senat dan DPR Partai Republik hasil pilpres 2024 adalah politisi-politisi yang sangat loyal kepadanya. Jadi Trump bisa mewujudkan rencana-rencananya tanpa hambatan dari Partai Demokrat atau politisi Partai Republik yang moderat, seperti Senator Lisa Murkowski dan Susan Collins.
Bagi Partai Demokrat, pilpres 2024 mungkin menjadi awal musim dingin yang panjang. Dengan migrasi kelas pekerja dan realiansi kaum Hispanik ke Partai Republik, Partai Demokrat perlu membangun aliansi baru agar bisa bersaing di pemilu-pemilu mendatang.
Apakah musim dingin Partai Demokrat akan berlangsung selama 3, 4 atau bahkan 5 periode kepresidenan seperti di masa lalu? Kita tunggu saja.