Liputan6.com, Jakarta Sejarah telah mencatat berbagai pandemi yang memiliki dampak besar terhadap manusia. Pandemi adalah wabah penyakit yang menyebar luas, melintasi batas negara dan benua, dan menyerang sejumlah besar populasi manusia.
Seiring berjalannya waktu, pandemi-pademi tersebut tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik tetapi juga mengubah arah sejarah, mempengaruhi ekonomi, budaya, hingga politik.
Salah satu yang paling terkenal adalah Pandemi Influenza 1918, yang juga dikenal sebagai Flu Spanyol. Pandemi ini terjadi pada akhir Perang Dunia I yang diperkirakan telah menginfeksi sekitar sepertiga populasi dunia pada saat itu. Penyebabnya adalah virus influenza A subtipe H1N1, dan diperkirakan menyebabkan kematian antara 50 hingga 100 juta orang.
Tingkat kematian yang tinggi terutama disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder yang terjadi setelah infeksi virus (Taubenberger & Morens, 2006).
Pandemi lain yang signifikan adalah Wabah Pes pada abad ke-14, yang dikenal sebagai Black Death. Wabah ini disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis. Diperkirakan telah membunuh sekitar 75 hingga 200 juta orang di Eropa, Asia, dan Afrika Utara (Benedictow, 2004).
Wabah Pes menyebar melalui kutu yang hidup pada tikus, dan tingginya mobilitas penduduk serta kondisi sanitasi yang buruk pada masa itu mempercepat penyebarannya. Wabah ini tidak hanya menyebabkan kematian massal tetapi juga berdampak besar pada struktur sosial dan ekonomi masyarakat Eropa.
Lalu, ada Pandemi HIV/AIDS yang dimulai pada akhir abad ke-20 juga merupakan salah satu yang paling berdampak dalam sejarah modern. Virus HIV, yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan AIDS, membuat penderitanya rentan terhadap infeksi dan penyakit lainnya.
Sejak pertama kali diidentifikasi pada awal 1980-an, HIV/AIDS telah menginfeksi sekitar 75 juta orang dan menyebabkan sekitar 32 juta kematian.
Penemuan dan pengembangan terapi antiretroviral (ARV) telah memungkinkan banyak orang yang terinfeksi untuk hidup lebih lama dan lebih sehat. Namun penyakit ini tetap menjadi masalah kesehatan global yang signifikan, terutama di Afrika Sub-Sahara (UNAIDS, 2020).
Pandemi lain yang penting yang terjadi sejak tahun 2000 adalah Pandemi Influenza H1N1 2009, yang juga dikenal sebagai Flu Babi. Virus ini pertama kali terdeteksi di Meksiko dan dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Meskipun pandemi ini memiliki tingkat kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan pandemi flu sebelumnya, diperkirakan bahwa virus ini menginfeksi sekitar 1,4 miliar orang pada tahun pertama penyebarannya.
Vaksin yang dikembangkan dengan cepat membantu mengendalikan penyebaran virus ini (Dawood et al., 2012).
Wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014-2016 juga menyoroti risiko pandemi dari penyakit yang sebelumnya kurang dikenal. Virus Ebola menyebabkan demam berdarah yang parah dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Wabah ini menyebabkan lebih dari 11.000 kematian dan menimbulkan ketakutan global tentang potensi penyebarannya yang cepat.
Respons internasional yang cepat, termasuk isolasi kasus dan pengawasan ketat, membantu mengendalikan wabah ini (WHO, 2016).
Bila melihat pandemi-pandemi di atas, setiap pandemi memberikan pelajaran berharga tentang cara mencegah dan merespon wabah penyakit di masa depan. Mulai dari peningkatan sistem pengawasan kesehatan global hingga pengembangan cepat vaksin dan terapi, respons terhadap pandemi memerlukan kerja sama internasional dan pendekatan yang berbasis bukti.
Lalu, pemahaman yang lebih baik tentang asal usul dan penyebaran penyakit menular dapat membantu dunia untuk lebih siap menghadapi pandemi di masa mendatang.
Pandemi Terakhir, COVID-19
Pandemi terakhir, COVID-19 memberikan teka-teki yang masih membuat banyak ilmuwan penasaran dari mana asalnya.
Asal usul COVID-19 penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2, telah menjadi topik diskusi dan penelitian intensif sejak pertama kali muncul pada akhir 2019.
Beberapa teori tentang asal usul virus ini telah diajukan, termasuk hipotesis alami dan teori kebocoran laboratorium (Andersen et al., 2020). Banyak ilmuwan percaya bahwa virus SARS-CoV-2 berasal dari hewan dan menular ke manusia melalui pasar basah di Wuhan, Tiongkok, tempat berbagai spesies hewan hidup dijual.
Analisis genetik menunjukkan bahwa virus ini sangat mirip dengan coronavirus yang ditemukan pada kelelawar dan trenggiling.
Transmisi zoonosis (dari hewan ke manusia) merupakan jalur yang sudah dikenal dalam penularan penyakit-penyakit sebelumnya, seperti SARS dan MERS. Studi menunjukkan bahwa kelelawar adalah reservoir alami untuk banyak coronavirus. SARS-CoV-2 memiliki kesamaan genetik tinggi dengan virus yang ditemukan pada kelelawar di gua-gua Tiongkok (Zhou et al., 2020).
Hipotesis ini menyatakan bahwa virus kemungkinan berpindah dari kelelawar ke hewan perantara, seperti trenggiling, sebelum akhirnya menginfeksi manusia.
Di sisi lain, teori kebocoran laboratorium juga menjadi perdebatan. Institut Virologi Wuhan (WIV) memiliki laboratorium yang bekerja dengan coronavirus. Teori ini mengemukakan bahwa SARS-CoV-2 mungkin telah bocor secara tidak sengaja dari laboratorium ini (Chan & Ridley, 2021).
Pendukung teori ini sering menunjuk pada kedekatan geografis antara WIV dan pasar basah di Wuhan, serta catatan tentang standar keselamatan laboratorium yang dipertanyakan.
Selain itu, penelitian 'gain-of-function' yang melibatkan modifikasi virus untuk mempelajari potensi mereka dalam menyebabkan pandemi juga menjadi sorotan. Teori ini menyatakan bahwa virus mungkin telah direkayasa untuk lebih mudah menginfeksi manusia, dan kemudian bocor dari laboratorium.
Meski banyak ilmuwan menganggap kemungkinan ini rendah, penelitian ini telah memicu diskusi luas tentang keamanan dan etika penelitian virologi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melakukan investigasi tentang asal usul SARS-CoV-2. Laporan mereka pada Maret 2021 menyimpulkan bahwa transmisi zoonosis melalui hewan perantara adalah hipotesis yang paling mungkin, sementara kebocoran laboratorium dianggap "sangat tidak mungkin" (WHO, 2021).
Namun, laporan ini juga menyerukan penelitian lebih lanjut dan transparansi dari semua pihak yang terlibat. Penelitian tambahan dari berbagai negara dan lembaga terus dilakukan untuk memahami asal usul COVID-19.
Teori Kebocoran Laboratorium, Jadi Kontroversi soal Penyebab COVID-19
Kontroversi tetap ada, dengan beberapa negara dan ilmuwan mendesak penyelidikan lebih mendalam terhadap kemungkinan kebocoran laboratorium. Kurangnya akses ke data mentah dan transparansi dari beberapa sumber telah memperumit upaya ini.
Saat ini, bukti paling kuat mendukung hipotesis bahwa SARS-CoV-2 memiliki asal usul alami, kemungkinan melalui transmisi zoonosis. Namun, teori kebocoran laboratorium masih menjadi perdebatan dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk sepenuhnya dikesampingkan atau dikonfirmasi.
Transparansi, kerjasama internasional, dan penelitian ilmiah berkelanjutan sangat penting untuk mengungkap asal usul sebenarnya dari COVID-19, yang akan membantu mencegah pandemi serupa di masa depan.
Pada tanggal 3 Juni 2024, The New York Times menerbitkan sebuah artikel interaktif yang mengangkat kembali teori kebocoran laboratorium terkait asal-usul COVID-19. Artikel ini ditulis oleh Dr. Alina Chan, seorang ahli biologi molekuler di Broad Institute dari M.I.T. dan Harvard, serta merupakan salah satu penulis buku "Viral: The Search for the Origin of Covid-19" (Chan & Ridley, 2021).
Dr. Chan menyoroti berbagai pandangan dan bukti yang mendukung maupun menentang teori tersebut, serta dampaknya terhadap kebijakan publik dan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan.
Sejak awal pandemi COVID-19, teori bahwa virus SARS-CoV-2 mungkin berasal dari kebocoran di laboratorium telah menjadi topik yang kontroversial.
Teori ini menyatakan bahwa virus tersebut mungkin tidak berasal dari pasar hewan di Wuhan, Cina, melainkan dari sebuah laboratorium yang meneliti virus corona. Penelitian di laboratorium ini, menurut beberapa pihak, mungkin secara tidak sengaja menyebabkan penyebaran virus ke populasi umum.
Laboratorium yang dimaksud adalah Institut Virologi Wuhan, yang dikenal memiliki fasilitas laboratorium dengan tingkat keamanan tinggi, termasuk laboratorium BSL-4 yang digunakan untuk penelitian patogen berbahaya.
Meskipun protokol keamanannya ketat, beberapa insiden di masa lalu menunjukkan bahwa kebocoran laboratorium bukanlah hal yang sepenuhnya mustahil.
Para pendukung teori kebocoran laboratorium mengemukakan beberapa argumen utama. Pertama, mereka menyoroti adanya laboratorium di Wuhan yang dikenal melakukan penelitian terhadap virus corona.
Laboratorium ini memiliki fasilitas dengan tingkat keamanan tinggi, namun tetap ada kemungkinan kesalahan manusia atau teknis yang menyebabkan kebocoran.
Laporan-laporan dari badan intelijen AS dan beberapa negara lain mengindikasikan adanya kemungkinan bahwa virus tersebut mungkin telah bocor dari laboratorium. Mereka juga menekankan bahwa beberapa peneliti di Institut Virologi Wuhan diduga jatuh sakit dengan gejala mirip COVID-19 pada akhir 2019, sebelum pandemi secara resmi dimulai. Hal ini menambah kecurigaan bahwa virus mungkin telah menyebar dari laboratorium tersebut (Gryphon, 2021).
Selain itu, pendukung teori ini sering kali merujuk pada dokumen-dokumen internal dan laporan dari berbagai badan intelijen yang mengindikasikan adanya upaya untuk menutupi asal-usul virus. Mereka juga menunjukkan bahwa penyelidikan awal oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghadapi banyak hambatan dan kurang transparansi dari pemerintah Cina.
Ilmuwan Lain Menolak Teori Kebocoran Laboratorium
Di sisi lain, banyak ilmuwan dan ahli epidemiologi menolak teori kebocoran laboratorium. Mereka berpendapat bahwa bukti ilmiah lebih mendukung hipotesis bahwa virus ini berasal dari pasar hewan dan menular ke manusia melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi.
Studi genetik terhadap SARS-CoV-2 menunjukkan kesamaan yang signifikan dengan virus Corona pada kelelawar dan trenggiling, yang mendukung teori penularan zoonosis. Para penentang juga menunjukkan bahwa kebocoran laboratorium sangat jarang terjadi, terutama di fasilitas dengan protokol keamanan yang ketat seperti yang ada di Wuhan.
Selain itu, mereka menekankan bahwa teori kebocoran laboratorium sering kali dipengaruhi oleh agenda politik dan teori konspirasi, yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan lembaga kesehatan (Andersen et al., 2020).
Studi-studi yang dilakukan oleh tim peneliti independen dan lembaga akademis di berbagai negara juga menunjukkan bahwa tidak ada bukti langsung yang mendukung klaim bahwa virus SARS-CoV-2 adalah hasil rekayasa manusia atau kebocoran dari laboratorium.
Mereka menekankan bahwa evolusi alami virus lebih mungkin menjelaskan bagaimana SARS-CoV-2 muncul dan menyebar (Holmes et al., 2021).
Perdebatan tentang asal-usul COVID-19 memiliki dampak signifikan terhadap kebijakan publik dan hubungan internasional.
Di Amerika Serikat, misalnya, teori kebocoran laboratorium telah digunakan sebagai alasan untuk meningkatkan tekanan terhadap Cina dan menuntut transparansi lebih lanjut. Di sisi lain, Cina telah menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar dan bermotif politik. Perdebatan ini juga mempengaruhi cara negara-negara merespons pandemi dan mengembangkan strategi pencegahan untuk masa depan.
Beberapa negara telah meningkatkan pengawasan terhadap laboratorium biologi dan memperketat regulasi untuk mencegah kemungkinan kebocoran di masa mendatang. Selain itu, ada juga upaya untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam penelitian virus dan pencegahan pandemi.
Teori Konspirasi COVID-19 Timbulkan Ketidakpercayaan pada Upaya Ilmiah
Di tengah ketidakpastian ini, pemerintah di seluruh dunia menghadapi tantangan dalam mengembangkan kebijakan yang didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat.
Penyelidikan lebih lanjut dan transparansi yang lebih besar diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang asal-usul virus ini secara meyakinkan.
Salah satu dampak terbesar dari polemik teori kebocoran laboratorium adalah erosi kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan dan lembaga kesehatan.
Teori konspirasi yang beredar luas dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap upaya ilmiah dan medis dalam menangani pandemi. Oleh karena itu, penting bagi ilmuwan, pejabat kesehatan, dan pemerintah untuk bekerja sama dalam menyampaikan informasi yang akurat dan transparan kepada publik.
Kepercayaan terhadap institusi ilmiah sangat penting dalam situasi krisis kesehatan global. Tanpa kepercayaan ini, upaya untuk mengendalikan penyebaran virus, mengembangkan vaksin, dan menerapkan langkah-langkah kesehatan masyarakat dapat terhambat.
Komunikasi yang efektif dan transparan tentang asal-usul virus dan langkah-langkah yang diambil untuk mencegah pandemi di masa depan sangat penting untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan publik (WHO, 2021).
Tantangan soal Asal-Usul COVID-19
Penyelidikan lebih lanjut tentang asal-usul COVID-19 menghadapi beberapa tantangan besar. Pertama, akses ke data dan sampel awal dari Cina sangat terbatas. Tanpa akses ini, sulit bagi para peneliti internasional untuk melakukan analisis yang komprehensif dan obyektif.
Kedua, ada ketegangan geopolitik yang mempengaruhi kolaborasi internasional dalam penelitian ini. Ketegangan antara Cina dan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, membuat kerjasama dalam penyelidikan menjadi lebih sulit.
Untuk mendapatkan jawaban yang jelas, diperlukan kerjasama global yang melibatkan berbagai pihak, termasuk ilmuwan, pemerintah, dan organisasi internasional (Holmes et al., 2021).
Artikel The New York Times tentang teori kebocoran laboratorium COVID-19 menggarisbawahi betapa kompleks dan kontroversialnya topik ini. Dengan bukti yang terus berkembang dan perdebatan yang berlanjut, penting bagi kita untuk tetap kritis dan terbuka terhadap berbagai pandangan, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip ilmiah yang solid.
Hanya dengan demikian, kita dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah pandemi di masa depan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan.
Kepastian mengenai asal-usul COVID-19 masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut dan transparansi dari semua pihak terkait.
Sementara itu, masyarakat harus diberdayakan dengan informasi yang akurat dan didorong untuk berpikir kritis dalam menanggapi berbagai teori dan klaim yang muncul. Dengan pendekatan yang hati-hati dan berbasis bukti, kita dapat membangun fondasi yang lebih kuat untuk mencegah dan merespons pandemi di masa depan.
**Penulis: Raymond R. Tjandrawinata
Pengamat Bioteknologi Kesehatan dan Profesor di Unika Atma Jaya
Bibliografi
• Andersen, K. G., Rambaut, A., Lipkin, W. I., Holmes, E. C., & Garry, R. F. (2020). The proximal origin of SARS-CoV-2. Nature Medicine, 26(4), 450-452.
• Benedictow, O. J. (2004). The Black Death, 1346-1353: The Complete History. Boydell Press.
• Chan, A., & Ridley, M. (2021). Viral: The Search for the Origin of Covid-19. HarperCollins, New York.
• Dawood, F. S., Iuliano, A. D., Reed, C., Meltzer, M. I., Shay, D. K., Cheng, P. Y., Bandaranayake, D., Breiman, R. F., Brooks, W. A., Buchy, P., Feikin, D. R., Fowler, K. B., Gordon, A., Hinds, S., Klarenberg, G., Krishnan, A., Lal, R., Montgomery, J. M., Mølbak, K., Pebody, R., ... & Widdowson, M. A. (2012). Estimated global mortality associated with the first 12 months of 2009 pandemic influenza A H1N1 virus circulation: a modelling study. The Lancet Infectious Diseases, 12(9), 687-695.• Gryphon, J. (2021). Analysis of intelligence reports on the origin of COVID-19. Journal of International Affairs, 97(3), 145-160.
• Holmes, E. C., Goldstein, S. A., Rasmussen, A. L., Robertson, D. L., Crits-Christoph, A., Wertheim, J. O., Anthony, S. J., Barclay, W. S., Boni, M. F., Doherty, P. C., Farrar, J., Geoghegan, J. L., Jiang, X., Leibowitz, J. L., Neil, S. J., Skern, T., Weiss, S. R., Worobey, M., Andersen, K. G., Garry, R. F., Rambaut, A., & Blumberg, R. S. (2021). The origins of SARS-CoV-2: A critical review. Cell, 184(19), 4848-4856.
• Taubenberger, J. K., & Morens, D. M. (2006). 1918 Influenza: the mother of all pandemics. Emerging Infectious Diseases, 12(1), 15-22.
• UNAIDS. (2020). Global HIV & AIDS statistics—2020 fact sheet. Retrieved from https://www.unaids.org/en/resources/fact-sheet
• World Health Organization. (2016). Ebola Situation Report - March 2016. Retrieved from https://www.who.int/csr/disease/ebola/situation-reports/archive/en/
• World Health Organization. (2021). Origins of the SARS-CoV-2 virus. Retrieved from https://www.who.int/health-topics/coronavirus/origins-of-the-virus