Liputan6.com, Jakarta - Satu hari menjelang debat capres Kamala Harris vs Donald Trump pada 10 September, model prediksi hasil pilpres dari analis poling kawakan, Nate Silver, menunjukkan peluang Harris untuk menang di pilpres 5 November hanya 36,2%. Pada saat yang hampir bersamaan, Polymarket, yang mengklaim sebagai 'The Largest Prediction Market for Politics', menunjukkan Trump memiliki peluang 53% untuk menang di pilpres.
Sementara itu, menurut data RealClearPolitics, marjin poling rata-rata Harris vs Trump di tingkat nasional pada 8 September mencapai +1,1%. Di tingkat swing states, angka poling rata-rata Harris vs Trump pada 8 September adalah +1,2% di Michigan, +1,8% di Wisconsin, sama kuat di Pennsylvania, +0,6% di Nevada, -1,6% di Arizona, +0,2% di Georgia, dan -0,7di North Carolina. Bandingkan dengan angka poling rata-rata Biden vs Trump pada 8 September 2020 yang mencapai +8,0% secara nasional, +6,5% di Wisconsin, +4,2% di Michigan, +4,3% di Pennsylvania, +7,5% di Nevada, +4,8% di Arizona, +1,3% di North Carolina dan -1,3% di Georgia.
Jika mengacu pada margin of error dalam poling politik AS yang rata-rata sebesar plus minus 3%, maka marjin poling rata-rata Harris vs Trump di tingkat nasional maupun swing states menjelang debat capres berada dalam margin of error. Bahkan menurut penelitian Andrew Gelman dan Houshmand Shirani-Mehr yang dilansir The New York Times, margin of error aktual dalam poling politik AS bisa mencapai plus minus 7% hingga 8%.
Jadi tidak berlebihan jika Senior Data Reporter CNN, Harry Enten, dalam analisis menjelang debat 10 September menyebut pertarungan Harris vs Trump sebagai "among the closest ever presidential election in the US history."
Berdasarkan analisis data poling pada pilpres 1964 hingga 2020, Enten mengungkapkan bahwa salah satu capres unggul +5% atau lebih paling tidak selama 3 minggu dalam poling nasional. Pada pertarungan Harris vs Trump kali ini, tidak pernah terjadi satu hari pun Trump atau Harris unggul +5% di poling nasional. Selain itu, menurut Enten, marjin poling rata-rata nasional menjelang debat capres terakhir dari 1976 hingga 2020 adalah +6%. Sementara menjelang debat terakhir Harris vs Trump, marjin poling rata-rata nasional hanya +2%.
Debat capres pada pada 10 September menjadi pertaruhan penting bagi Kamala Harris maupun Trump guna meyakinkan undecided voters atau pemilih yang belum memutuskan untuk memilih mereka di pilpres nanti.
Debat capres kedua yang digelar ABC News tersebut berlangsung cukup seru dan ditonton oleh hampir 70 juta pamirsa di seluruh AS. Hasilnya, Snap Poll CNN menunjukkan 63% penonton mengganggap Harris sebagai pemenang debat dan hanya 37% yang menganggap Trump sebagai pemenangnya. Sedangkan menurut poling The New York Times/Siena College, 67% responden menganggap Harris tampil meyakinkan dalam debat dan hanya 40% yang menganggap Trump tampil memukau.
Sayangnya menang dalam debat capres tidak berdampak signifikan terhadap elektabilitas Harris. Data RealClearPolitcs pada 10 dan 22 September menunjukkan bahwa di tingkat nasional, marjin poling rata-rata Harris dari 10 September ke 22 September hanya dari +1,1% menjadi +2,2%. Di Michigan, naik dari +1,2% menjadi +1,7%; di Wisconsin bahkan turundari +1,8% menjadi +1,0%; di Pennsylvania naik dari sama kuat menjadi +0,7%; di Nevada turun dari +0,6% menjadi +0,2%; di Arizona turun dari -1,5% menjadi -1,6%; di Georgia turun dari -0,3% menjadi -2,0%; dan di North Carolina tidak berubah di angka -0,1%.
Dengan kata lain, debat capres pada 10 September sama sekali tidak mengubah peta persaingan Harris vs Trump yakni masih tossup alias sama kuat. Meskipun demikian, sejumlah perkembangan dan fakta baru dalam 50 hari menuju hari H Pilpres AS 5 November ini kemungkinan akan berpengaruh terhadap hasil pilpres.
Dukungan Taylor Swift Terhadap Kamala Harris Dorong Partisipasi Kalangan Muda
Sehari setelah Harris dinyatakan menjadi pemenang dalam debat capres, Taylor Swift mengumumkan dukungannya terhadap capres Partai Demokrat ini. Tidak hanya itu, melalui akun Instagram (IG) yang memiliki 284 juta pengikut, Swift menyerukan kepada pengikutnya agar mendaftar sehingga bisa mencoblos di pilpres 5 November.
Menurut situs pendafataran pemilu pemerintah AS, Vote.gov, 24 jam setelah Swift memposting link pendaftaran pemilu di IG, 406.000 orang mengklik link tersebut. Angka ini lebih dari setengah kunjungan ke Vote.gov pada 10 dan 11 September yang mencapai 727.000 pengunjung. Pada hari-hari sebelumnya, kunjungan ke Vote.gov hanya sekitar 30.000 kunjungan per hari.
Sedangkan Vote.org, platform teknologi yang mendorong masyarakat AS untuk mendaftar dan mencoblos di pemilu, melaporkan lonjakan kunjungan sebesar 1.226% ke situsnya, satu jam setelah Swift memposting link pendaftaran pemilih Vote.org di IG.
Dashboard pendaftaran pemilih dari firma data politik TargetSmart juga menunjukkan adanya kenaikan kunjungan sebesar 400% hingga 500% pada 11 dan 12 September. Lebih jauh, dashboard TargetSmart mengungkapkan bahwa dalam rentang waktu 10 – 18 September, lebih dari 2,3 juta pemilih baru mendaftar di platform tersebut, 37% di antaranya adalah darikalangan Gen Z. Dari angka tersebut, jumlah kaum Gen Z yang berafiliasi ke Partai Demokrat mencapai dua kali lipat dibanding Gen Z yang berafiliasi ke Partai Republik.
Menurut analisis CNN, dukungan Swift akan sangat berarti bagi peningkatan dukungan kaum muda terhadap Harris. Saat ini marjin dukungan terhadap Harris dari kalangan pemilih barusia 18-29 tahun pada baru mencapai +15%, jauh di bawah dukungan mereka terhadap Biden di bulan yang sama pada 2020 yang mencapai +29%.
Harris Raup Dana yang Jauh Lebih Besar Dibanding Trump
Menurut The Washington Post, pada Agustus 2024 tim kampanye Harris sukses menghimpun dana sebesar US$190 juta (Rp 2,9 triliun) dan membelanjakan hampir US$174 juta (Rp 2,64 triliun), antara lain untuk iklan sebesar US$ 135 juta (Rp 2,05 triliun) dan pengiriman pesan teks sebesar US$4,5 juta (Rp 682,6 miliar). Dengan pengeluaran sebesar itu, tim kampanye Harris masih punya cadangan dana sebesar US$235 juta (Rp 3,57 triliun).
Pada bulan yang sama, tim kampanye Trump hanya mampu menghimpun dana US$43 juta (Rp 652,3 miliar) dan membelanjakan US$61 juta (Rp 925,3 miliar), antara lain untuk iklan sebesar US$47 juta (Rp 712,9 miliar) dan direct mail sebesar US$ 10,2 juta (Rp 154,7 miliar). Tim Trump masih punya dana cadangan sebesar US$135 juta (Rp 2,05 triliun).
Meskipun demikian, Trump unggul dalam penggalangan dana melalui super PAC (Political Action Committee) berkat dukungan dari sejumlah milyarder pro-Trump seperti Timothy Mellon, Miriam Adelson, Diane Hendricks dan lain-lain. Hanya saja, kampanye melalui PAC memiliki banyak keterbatasan seperti tidak boleh berkoordinasi langsung dengan capres dan rate iklan yang jauh lebih mahal.
Tim Kampanye Harris Kelola Sendiri Tim Lapangan, Trump Andalkan Outsourcing
Bagian terpenting dalam kampanye pilpres adalah mengajak para pendukung capres dan undecided voters untuk mencoblos. Aktivitas ini sering disebut kampanye GOTV atau Get Out the Vote. Dalam GOTV tim capres atau relawan akan mengubungi para pendukung dan undecided voters melalui telepon, pesan teks maupun langsung melakukan kunjungan dari rumah ke rumah.
Dalam pilpres kali ini, tim kampanye Harris dan Trump menggunakan pendekatan berbeda dalam aktivitas GOTV mereka. Menurut laporan AP, tim Harris masih mengandalkan metode tradisional yakni mempekerjakan pegawai yang digaji dan merekrut banyak relawan di seluruh swing states, serta mengawasi kerja mereka secara langsung, berkoordinasi dengan tim Democratic National Committee (DNC). Harris mempekerjakan 2.200 staf lapangan yang ditempatkan di 328 kantor di tujuh swing states, ditambah dengan puluhan ribu relawan.
Sedangkan Trump mempercayakan aktivitas GOTV ini kepada pihak komite aksi politik atau PAC yang mencakup Turnout for America, Turning Point Action, America First Works serta America PAC yang didirikan oleh Elon Musk, dengan dukungan dana ratusan juta dolar. Republican National Committee (RNC) juga mempekerjakan staf lapangan, tapi jumlahnya jauh lebih kecil yakni hanya 350 orang, 50 orang diantaranya di swing state terpenting, Pennsylvania.
Yang menjadi persoalan, menurut laporang AP, adalah hingga 50 hari menuju hari H, para aktivis Partai Republik di swing states mengaku jarang melihat petugas dari keempat PAC tersebut mendatangi rumah-rumah para pemilih. Hal ini membuat banyak politisi Partai Republik khawatir tingkat partisipasi pemilih pro-Trump dan Partai Republik di pilpres akan kalah oleh pendukung Harris.
Apalagi jika mengacu pada kegagalan beberapa outsourced GOTV di masa lalu. Pada pemilihan bakal calon presiden (primary) Partai Republik untuk pilpres 2024, bakal calon unggulan Ron DeSantis menggunakan Never Back Down PAC dengan dukungan dana sebesar US$100 juta (Rp 1,52 triliun). Tapi ternyata DeSantis gagal dan mundur dari pencalonan setelah kalah oleh Trump di Iowa Caucus.
Juga pada pilpres 2016, bakal calon Partai Republik Jeb Bush dengan dukungan dana US$114 juta (Rp 1,73 triliun) menggunakan Right to Rise PAC agar bisa terpilih. Nyatanya, Bush mundur dari pencalonan setelah tampil buruk di South Carolina Primary.
Konflik Timur Tengah Menjadi Duri Dalam Daging Bagi Koalisi Harris
Konflik Timur Tengah terbaru yang diawali dengan serangan Hamas ke wilayah Israel yang menewaskan 1,170 warga Israel yang kemudian memicu tindakan balasan Israel berupa aksi militer di Gaza. Meski aksi militer Israel ini sudah menewaskan 41.467 warga Palestina dan melukai 95.921 lainnya, konflik ini tidak ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan mengalami eskalasi setelah Israel melakukan aksi militer di Lebanon untuk melumpuhkan milisi Hezbollah pro-Iran yang menjadi salah satu pendukung Hamas.
Setelah mengawali serangan terhadap Hezbollah dengan bom pager dan HT yang kemudian diikuti dengan serangan udara terhadap sejumlah sasaran penting di Lebanon Selatan, Israel dikhawatirkan akan membuat konflik Timur Tengah semakin memburuk dengan melakukan serangan darat ke Lebanon Selatan.
Kondisi ini membuat tim Harris waswas. Pasalnya, pemilih Yahudi dan Arab sama-sama merupakan elemen penting dalam 'koalisi pelangi' yang sangat diandalkan di swing states. Menurut data Jewish Virtual Library dari pilpres 1968 hingga 2020, Partai Demokrat rata-rata mengantongi 71% suara pemilih Yahudi. Sedangkan menurut data Council on American-Islamic Relations (CAIR), 70% pemilih Arab-Amerika memilih Joe Biden di pilpres 2020.
Trump memanfaatkan konflik Timur Tengah dengan berupaya menarik simpati kedua elemen pendukung Partai Demokrat ini. Kepada pemilih Yahudi Trump mengatakan bahwa Israel akan lenyap jika Harris menjadi presiden. Kepada kelompok Arab-Amerika, menurut The Washington Post, Trump mengutus besannya Massad Boulos yang merupakan warga Arab Amerika untuk menjelaskan kepada warga Arab di swing states bahwa Trump adalah pilihan terbaik untuk mengakhiri perang di Gaza.
Terdapat 424.000 warga Yahudi dan 302.870 warga Arab di Michigan, Pennsylvania dan Wisconsin, tiga swing states terpenting bagi Partai Demokrat. Pada pilpres 2020, Biden menang dengan marjin hanya 256.530 di tiga swing states tersebut. Jadi jika salah satu atau kedua kelompok penting dalam koalisi Partai Demokrat membelot dan memilih Trump di pilpres 5 November nanti, harapan Harris untuk menjadi presiden akan kandas.
Dan keretakan dalam koalisi pelangi pendukung Harris sudah mulai terjadi ketika Amer Ghalib, Wali Kota Hamtramck di Michigan yang mayoritas penduduknya Muslim, memutuskan untuk mendukung Trump!
Apakah akan ada kejutan-kejutan baru di minggu-minggu terakhir menjalang 5 November yang akan mengubah peta persaingan? Kita tunggu saja.