Akankah Paus Baru Dipilih dari Negara dengan Mayoritas Non-Katolik?

1 month ago 42

Liputan6.com, Vatikan - Para kardinal Italia selama ini selalu menjadi pemain kunci dalam konklaf — pertemuan rahasia berusia berabad-abad di Kapel Sistina untuk memilih paus baru.

Dalam film pemenang Oscar berjudul Conclave yang dirilis tahun lalu, para kardinal Italia harus bersaing dengan kandidat kuat dari Amerika dan Afrika. Namun, dalam film tersebut, Paus yang akhirnya terpilih justru melampaui semua prediksi — ia bukan kandidat favorit dan berasal dari negara dengan mayoritas penduduk Muslim.

Skenario fiksi ini kemudian memunculkan pertanyaan nyata: mungkinkah penerus Paus Fransiskus berasal dari negara di mana umat Katolik bukan mayoritas?

Konklaf yang Berbeda

Konklaf sebenarnya akan dimulai di Roma pada hari Rabu, dengan para kardinal yang memenuhi syarat dari College of Cardinals untuk memilih Paus baru.

Saat ini ada 252 kardinal di seluruh dunia, namun hanya 135 di antaranya yang berstatus kardinal elektoral — yaitu berusia di bawah 80 tahun sehingga berhak memilih dan dipilih menjadi Paus, dikutip dari laman ABC, Senin (5/5/2025).

Dua kardinal telah mengonfirmasi bahwa mereka tidak akan hadir karena alasan kesehatan, sehingga hanya 133 kardinal yang akan berpartisipasi.

Distribusi geografis para kardinal elektoral kali ini adalah: 52 dari Eropa, 23 dari Asia, 17 dari Afrika, 17 dari Amerika Selatan, 16 dari Amerika Utara, serta masing-masing 4 dari Oseania dan Amerika Tengah.

Menurut Associate Professor Joel Hodge dari Australian Catholic University, konklaf kali ini istimewa karena jumlah kardinal dari luar Eropa lebih banyak dibandingkan konklaf-konklaf sebelumnya.

"Meski kehadiran Eropa masih kuat, kini kita memiliki negara-negara yang sebelumnya belum pernah punya kardinal, seperti Timor Leste di kawasan Asia Tenggara," ujar Hodge.

"Kardinal dari Timor Leste ini akan ikut memilih Paus untuk pertama kalinya. Ini bersejarah."

Upacara pemilihan Paus baru atau konklaf akan digelar 7 Mei mendatang. Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo pun terbang ke Vatikan untuk mengikuti proses konklaf bersama ratusan kardinal dari seluruh dunia.

Underdog di Antara Para Underdog?

Sepanjang sejarah, kursi Paus hampir selalu dipegang oleh kardinal dari negara-negara dengan mayoritas penduduk Katolik.

Kardinal dari kawasan non-Eropa seperti Luis Antonio Tagle dari Filipina sering kali disebut sebagai kandidat "underdog" dalam konklaf.

Lalu, bagaimana dengan kardinal dari negara yang tidak hanya di luar Eropa, tetapi juga bukan mayoritas Katolik? Apakah mereka adalah "underdog dari para underdog"?

Menurut Dr. Hodge, peluang itu tetap terbuka.

"Pada akhirnya semua tergantung pada sosok pribadi: teologi, spiritualitas, dan gaya kepemimpinannya," jelasnya.

Ia menambahkan, dalam konklaf, faktor geopolitik pasti ikut dipertimbangkan para kardinal.

"Paus berikutnya harus mampu mengelola hubungan yang sangat kompleks di seluruh dunia."

Paus Fransiskus sendiri banyak menunjuk kardinal dari negara-negara non-Katolik, seperti Mongolia, yang komunitas Katoliknya sangat kecil.

Namun, Dr. Hodge juga mengingatkan bahwa peluang memilih Paus dari negara non-Katolik sulit diprediksi.

"Konklaf itu penuh kejutan. Seperti pepatah Italia: 'Masuk konklaf sebagai Paus, keluar sebagai kardinal,'" ujarnya.

Artinya, jangan pernah berasumsi hasilnya akan sesuai harapan, karena pemilihan Paus bukan soal popularitas, melainkan mencari wakil Kristus di dunia.

"Terkadang memang kandidat favorit yang terpilih, tapi sering juga hasilnya di luar dugaan. Kita lihat saja nanti."

Mimpi Menjadi Paus Adalah "Kebodohan"

Saat mengunjungi Indonesia tahun 2024, Paus Fransiskus sempat menegaskan bahwa negara-negara dengan minoritas Katolik tetap memiliki kehidupan gereja yang sangat hidup.

"Di Indonesia, hanya sekitar 10 persen dari penduduk yang beragama Kristen, dan 3 persen di antaranya Katolik — sebuah minoritas," kata Paus saat berbicara di Vatikan.

"Tapi yang saya lihat adalah gereja yang hidup dan dinamis, mampu bertahan dan menyebarkan kebaikan Tuhan di tengah keragaman budaya, di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia."

Salah satu kardinal elektoral dari negara seperti ini adalah Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dari Indonesia.

Meski berasal dari negara non-Katolik dan dikenal karena sikap progresifnya, nama Kardinal Suharyo hampir tidak disebut-sebut sebagai kandidat kuat.

Dalam banyak kesempatan, Kardinal Suharyo menunjukkan prinsip tegasnya. Ketika pemerintah Indonesia menawarkan izin tambang kepada lembaga keagamaan, ia dengan keras menolak, mengutip hukum gereja yang melarang pencampuran urusan agama dan bisnis.

"Saya tidak meminta izin tambang atau tempat ibadah, saya hanya ingin negara menjalankan tugasnya dengan benar," katanya kala itu.

Ia juga pernah menegaskan, "Dipilih menjadi Paus bukanlah soal ambisi, bukan pula karier yang terus menanjak — justru sebaliknya."

"Kalau ada yang bermimpi jadi Paus, maaf saja, itu bodoh," kata Kardinal Suharyo di Jakarta.

Vincentius Adi Prasojo, Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta yang telah bekerja bersama Kardinal Suharyo selama 12 tahun, mengatakan bahwa kardinal itu benar-benar tidak memiliki ambisi kekuasaan.

"Saya yakin, satu-satunya hal yang beliau pikirkan adalah melayani Gereja. Tidak ada ambisi kekuasaan atau jabatan," ungkap Adi Prasojo kepada ABC, saat berkunjung ke Vatikan menjelang konklaf.

Namun, jika pada akhirnya Kardinal Suharyo terpilih, Adi Prasojo yakin beliau akan menerimanya sebagai bentuk ketaatan.

Kandidat Lain dari Negara Non-Katolik

Selain Kardinal Suharyo, ada juga Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar — negara mayoritas Buddha — yang disebut-sebut sebagai kandidat potensial.

Namun, menurut Dr. Hodge, peluang Kardinal Maung Bo juga kecil.

Meski begitu, Hodge menilai Kardinal Maung Bo sangat mengesankan karena mampu menunjukkan kepemimpinan spiritual dan moral dalam situasi Myanmar yang sulit, di tengah konflik sipil dan rezim militer.

"Ia mampu menjaga iman, membimbing secara spiritual, dan menjadi suara moral di situasi yang sangat berat."

Banyak Tugas Menanti Paus Baru

Dua konklaf terakhir masing-masing selesai dalam dua hari, dengan satu kandidat berhasil meraih dua pertiga suara.

Namun, sejarah mencatat konklaf terlama pernah berlangsung hampir tiga tahun (1268-1271) untuk memilih pengganti Paus Klemens IV.

Kali ini, Adi Prasojo memperkirakan prosesnya bisa lebih lama.

"Kelihatannya tidak ada kandidat dominan... Apa yang diberitakan media juga hanya spekulasi," katanya.

Siapa pun yang keluar dari konklaf sebagai Paus baru, sudah menanti daftar panjang pekerjaan besar.

"Reformasi gereja, khususnya reformasi keuangan, perlindungan anak, penyelesaian skandal pelecehan seksual, dan investigasi atas kejahatan-kejahatan tersebut masih menjadi tugas besar," kata Dr. Hodge.

"Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan Vatikan harus tetap memimpin upaya itu."

Read Entire Article